Menjaga Kemuliaan Zakat

Dani Fadillah*

Selain sibuk untuk mempersiapkan mudik sebagai tradisi menjelang idul fitri bagi masyarakat Indonesia, beberapa masyarakat kita juga telah mulai mempersiapkan sebuah ritual suci seiring dengan makin mendekatnya bulan syawal, ritual itu adalah pembagian zakat. Secara bahasa, Zakat berasal dari akar kata zaka, yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan berkembang. Adapun menurut istilah syariat, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan kepada orang yang berhak menerimanya disebabkan sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Zakat merupakan penyucian diri dan harta dari kemungkinan diperoleh dengan jalan yang tidak diridhoi oleh Allah. Membayar zakat juga tidak akan mengurangi harta, namun Allah akan mengembalikannya dalam bentuk yang lebih baik disaat yang tidak kita sangka-sangka.

Secara filosofinya zakat bukan hanya menunaikan kewajiban materiil bagi seorang muslim yang memiliki harta, tetapi bagaimana zakat dapat dijadikan sebagai sistem nilai yang seterusnya terinternalisasi dalam diri pembayar zakat untuk menjadi seseorang yang peduli kepada yang lemah dan berpihak pada kaum papa dalam seluruh perilaku dan aktifitas ekonominya.

Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat dijadikan tolok ukur akan kesejahteraaan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro.

Disinilah zakat berperan sebagai Ibadah Maaliyah Ijtima'iyyah (ibadah harta yang berdimensi sosial) yang memiliki posisi penting, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam maupun dari sisi pembanguna kesejahteraan umat. Kesediaan seseorang untuk berzakat merupakan indikator utama ketundukannya terhadap Allah dan ciri utama seorang mukmin yang akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah. kesediaan berzakat pula dipandang sebagai ciri orang yang selalu berkeinginan menyucikan dan mmembersihkan serta mengembangkan harta yang dimilikinya.

Dalam konteks kemakmuran bagi masuarakat zakat memiliki peran sebagai berikut ; pertama, zakat akan menumbuhkan akhlak yang mulia berupa kepeduliaan terhadap nasib kehidupan orang lain, menghilangkan rasa kikir dan egoisme (An-Nisa': 37). Kedua, Zakat berfungsi secara sosial untuk mensejahterakan kelompok mustahiq, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, dapat menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. Ketiga, zakat akan mendorong umat untk menjadi menjadi muzakki sehingga akan meningkatkan etos kerja dan etika bisnis yang benar. Keempat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan terciptanya pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan.

Namun harus kita ingat bersama, kita tentu tidak ingin zakat yang sedemikian mulianya justru menjadi sebuah tragedi kemanusiaan. Jika belum amnesia, kita tentu ingat di ramadhan-ramadhan sebelumnya ada beberapa kasus dimana pembagian zakat yang seharusnya memunculkan nilai-nilai kearifan sebagaimana yang disebutkan diatas justru menjadi tragedi kemanusiaan, dimana pembagian zakat seolah menjadi sebuah demonstrasi kemiskinan bahkan sampai ada yang pingsan, sekarat dan meregang nyawa.

Oleh karena itu alangkah baiknya ketika zakat hendak diberikan kepada pihak-pihak yang memang pantas untuk menerimanya perlu dilaksanakan dengan cara-cara yang benar-benar memanusiakan manusia. Tidak hanya sekedar memberi, namun juga memperhatikan aspek etika dan kenyamanan pada saat serah terima zakat berlangsung. Ingat sebagaimana yang telah kita bahas diatas, bukan hanya penerima zakat saja yang memiliki kepentingan terhadap apa yang dizakatkan, namun juga sang pemberi zakat.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

DPD IMM DIY 2013-2015