MENJAWAB KONTROVERSI PUTUSAN BAWASLU

Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH

KPU tidak segera merespon keputusan Bawaslu No.12/SP-2/Set.bawaslu/I/2003 yang mengabulkan permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk menjadi peserta tambahan dalam pemilu 2014. Sikap kehati-hatian nampaknya sedang ditunjukkan oleh KPU, sebab keputusan KPU akan berimplikasi yuridis sekaligus politis terhadap nasib partai politik (parpol) calon peserta pemilu tersebut.

Ada 4 poin yang disebutkan dalam amar putusan Bawaslu. Pertama, mengabulkan permohonan Pemohon. Kedua, membatalkan Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 sepanjang untuk PKPI. Ketiga, menerbitkan Keputusan KPU tentang Penetapan PKPI sebagai Peserta Pemilu Tahun 2014. Keempat, memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan Keputusan ini.

Keputusan Bawaslu tersebut mengandung kontroversi. Dari segi kewenangan memang tidak ada masalah, Bawaslu berhak menyelesaikan sengketa pemilu (Pasal 73 ayat (4) point C UU No. 15 tahun 2011). Namun dari sisi sifat keputusan, Bawaslu mengabaikan ketentuan pasal Pasal 259 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa Pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Parpol Peserta Pemilu dan daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan.

Terbuka ruang bagi KPU untuk mengambil sikap dan keputusan yang berbeda dengan keputusan Bawaslu. Pengecualian norma hukum yang tercantum pada Pasal 259 ayat (1) tersebut tidak boleh disimpangi dengan keputusan Bawaslu. Berlakulah Asas hukum lex superior derogat legi inferiori, peraturan yang lebih tinggi tidak dapat dihapus oleh peraturan yang lebih rendah kedudukannya. KPU boleh mengabaikan keputusan Bawaslu dan masih tersedia upaya hukum berikutnya yang dapat ditempuh oleh KPU dan PKPI. Dengan demikian PKPI tidak otomatis menjadi kontestan pemilu pasca putusan Bawaslu.

Putusan Bawaslu ini mengandung spirit pemulihan hak-hak konstitusional warga negara (baca : partai politik). Namun hal itu bukanlah porsi Bawaslu, karena bawaslu bukan lembaga peradilan semacam Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai the protector of citizen’s constitutional rights (pelindung konstitutional hak warga negara) sehingga bisa menafsirkan Undang-undang. Kewenangan Bawaslu tetap terbatas sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki kewajiban menerapkan peraturan secara cermat, teliti dan proporsional.

Keputusan Bawaslu pun dapat menjadi obyek pemeriksaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Karena Bawaslu berpotensi melanggar Peraturannya sendiri yaitu Peraturan Bawaslu No. 15 tahun 2012 tentang tata cara Penyelesaian sengketa pemilu, Pasal 46 poin b. yang menyebutkan penyelesaian sengketa Pemilu dinyatakan selesai apabila : Pengawas pemilu telah membuat putusan yang bersifat terakhir dan mengikat kecuali terhadap sengketa pemilu tentang verifikasi Parpol Peserta Pemilu.

Lalu bagaimana jawaban dan sikap yang dapat diambil KPU atas kasus ini ?. Ada tiga pilihan sikap KPU yang dapat diambil. Pertama, KPU membiarkan keputusan Bawaslu tersebut dimaknai sebagai rekomendasi semata. Karena tidak ada kewajiban KPU untuk melaksanakan keputusan tersebut. Namun pilihan sikap ini tentu tidak elegan bagi KPU selaku penyelenggara pemilu yang harus bersikap adil bagi seluruh pihak. Kedua, KPU menerima putusan Bawaslu, dengan catatan KPU meyakini bahwa PKPI berdasarkan putusan Bawaslu tersebut telah memenuhi ketentuan pasal 8 ayat (2) UU Pemilu. Ketiga, KPU membuat keputusan yang menyatakan menolak keputusan Bawaslu dan menyatakan bahwa keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2014 telah benar. Jika sikap ketiga yang diambil KPU maka perkara ini akan berlanjut. PKPI dapat menggugat KPU melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sesuai Pasal 259 ayat (3) UU Pemilu. Proses berikutnya merupakan proses persidangan di PTTUN sampai putusannya dinyatakan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde).

Mekanisme yang tersedia dalam UU pemilu memang seperti itu. Semestinya semua pihak harus bersikap obyektif dan jujur melihat persoalan ini, sehingga KPU dapat mengambil keputusan secara benar dan tepat tanpa tekanan dari pihak manapun. Apapun keputusan KPU nantinya, harus dihormati dan diterima semua pihak dengan lapang dada.

Penulis :

Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH

Dekan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

dan Direktur INDepth

*Pernah dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, tanggal 12 Februari 2013

Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH

KPU tidak segera merespon keputusan Bawaslu No.12/SP-2/Set.bawaslu/I/2003 yang mengabulkan permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk menjadi peserta tambahan dalam pemilu 2014. Sikap kehati-hatian nampaknya sedang ditunjukkan oleh KPU, sebab keputusan KPU akan berimplikasi yuridis sekaligus politis terhadap nasib partai politik (parpol) calon peserta pemilu tersebut.

Ada 4 poin yang disebutkan dalam amar putusan Bawaslu. Pertama, mengabulkan permohonan Pemohon. Kedua, membatalkan Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 sepanjang untuk PKPI. Ketiga, menerbitkan Keputusan KPU tentang Penetapan PKPI sebagai Peserta Pemilu Tahun 2014. Keempat, memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan Keputusan ini.

Keputusan Bawaslu tersebut mengandung kontroversi. Dari segi kewenangan memang tidak ada masalah, Bawaslu berhak menyelesaikan sengketa pemilu (Pasal 73 ayat (4) point C UU No. 15 tahun 2011). Namun dari sisi sifat keputusan, Bawaslu mengabaikan ketentuan pasal Pasal 259 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa Pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Parpol Peserta Pemilu dan daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan.

Terbuka ruang bagi KPU untuk mengambil sikap dan keputusan yang berbeda dengan keputusan Bawaslu. Pengecualian norma hukum yang tercantum pada Pasal 259 ayat (1) tersebut tidak boleh disimpangi dengan keputusan Bawaslu. Berlakulah Asas hukum lex superior derogat legi inferiori, peraturan yang lebih tinggi tidak dapat dihapus oleh peraturan yang lebih rendah kedudukannya. KPU boleh mengabaikan keputusan Bawaslu dan masih tersedia upaya hukum berikutnya yang dapat ditempuh oleh KPU dan PKPI. Dengan demikian PKPI tidak otomatis menjadi kontestan pemilu pasca putusan Bawaslu.

Putusan Bawaslu ini mengandung spirit pemulihan hak-hak konstitusional warga negara (baca : partai politik). Namun hal itu bukanlah porsi Bawaslu, karena bawaslu bukan lembaga peradilan semacam Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai the protector of citizen’s constitutional rights (pelindung konstitutional hak warga negara) sehingga bisa menafsirkan Undang-undang. Kewenangan Bawaslu tetap terbatas sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki kewajiban menerapkan peraturan secara cermat, teliti dan proporsional.

Keputusan Bawaslu pun dapat menjadi obyek pemeriksaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Karena Bawaslu berpotensi melanggar Peraturannya sendiri yaitu Peraturan Bawaslu No. 15 tahun 2012 tentang tata cara Penyelesaian sengketa pemilu, Pasal 46 poin b. yang menyebutkan penyelesaian sengketa Pemilu dinyatakan selesai apabila : Pengawas pemilu telah membuat putusan yang bersifat terakhir dan mengikat kecuali terhadap sengketa pemilu tentang verifikasi Parpol Peserta Pemilu.

Lalu bagaimana jawaban dan sikap yang dapat diambil KPU atas kasus ini ?. Ada tiga pilihan sikap KPU yang dapat diambil. Pertama, KPU membiarkan keputusan Bawaslu tersebut dimaknai sebagai rekomendasi semata. Karena tidak ada kewajiban KPU untuk melaksanakan keputusan tersebut. Namun pilihan sikap ini tentu tidak elegan bagi KPU selaku penyelenggara pemilu yang harus bersikap adil bagi seluruh pihak. Kedua, KPU menerima putusan Bawaslu, dengan catatan KPU meyakini bahwa PKPI berdasarkan putusan Bawaslu tersebut telah memenuhi ketentuan pasal 8 ayat (2) UU Pemilu. Ketiga, KPU membuat keputusan yang menyatakan menolak keputusan Bawaslu dan menyatakan bahwa keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2014 telah benar. Jika sikap ketiga yang diambil KPU maka perkara ini akan berlanjut. PKPI dapat menggugat KPU melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sesuai Pasal 259 ayat (3) UU Pemilu. Proses berikutnya merupakan proses persidangan di PTTUN sampai putusannya dinyatakan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde).

Mekanisme yang tersedia dalam UU pemilu memang seperti itu. Semestinya semua pihak harus bersikap obyektif dan jujur melihat persoalan ini, sehingga KPU dapat mengambil keputusan secara benar dan tepat tanpa tekanan dari pihak manapun. Apapun keputusan KPU nantinya, harus dihormati dan diterima semua pihak dengan lapang dada.

Penulis :

Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH

Dekan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

dan Direktur INDepth

*Pernah dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, tanggal 12 Februari 2013