MENYONGSONG KURIKULUM 2013 TANPA CEMAS

 

 

Wacana perombakan kurikulum masih menjadi berita terhangat di kalangan pendidik dan praktisi pendidikan. Praktisi pendidikan Ki Supriyoko telah mengingatkan, uji publik perubahan kurikulum jangan formalitas. Menurutnya, pemerintah perlu terbuka menerima masukan dan kerja keras untuk menghasilkan kurikulum yang menjawab tantangan zaman. Lebih dari itu, kata Supriyoko, bisa diterjemahkan di kelas. Bisakah kita menyongsong Kurikulum 2013 tanpa cemas?

 

Perubahan kurikulum merupakan suatu keniscayaan yang terjadi. Di Indonesia, kurikulum mengalami perubahan dari masa ke masa, seiring dengan pergantian menteri. Dulu semasa penulis duduk di bangku SD, dikenalkan konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Lambat laun berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan yang saat ini berlaku, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

 

Atas fenomena itu, sebagian masyarakat mengkritiknya dengan sebuah pameo yang khas, "ganti menteri ganti kurikulum". Kini, tatkala pemerintah sedang menggulirkan rencana perombakan kurikulum (dari KTSP menjadi Kurikulum 2013), pameo khas tersebut muncul kembali. Bagi saya, munculnya kembali pameo "ganti menteri ganti kurikulum" perlu dijadikan semacam warning bagi pemerintah, khususnya Kemdikbud. Apa pasal?

 

Sebab, pertama, publik memiliki harapan yang besar terhadap Kurikulum 2013. Publik berharap, Kurikulum 2013 dapat memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas, serta kualitas pendidikan nasional. Kedua, peran guru sebagai penerjemah isi dan konsep Kurikulum 2013 di kelas. Kedua hal tersebut, menurut hemat saya, perlu dicatat oleh pihak Kemdikbud agar isi dan konsep kurikulum yang tengah dirancang terus mengalami perbaikan.

 

Terkait peran guru di kelas sebagai penerjemah kurikulum, saya ingin berikan argumentasi lain. Becermin dari pengalaman pribadi, setiap tahun ajaran baru saya selalu memikirkan cara-cara inovasi mengajar yang baru pula. Selain itu, saya bukan tipe guru yang menyuruh para siswanya harus membeli Lembar Kerja Siswa (LKS). Untuk materi ajar dan latihan soal saya sering mencupliknya dari buku-buku teks yang ada, selain juga hasil kreativitas sendiri.

 

Bagi saya, menjadi guru kreatif dan inovatif tidaklah repot dan harus mengeluarkan biaya mahal. Kuncinya, asalkan kita rajin membaca buku, koran, senang berdiskusi (lewat forum MGMP), kelak kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat. Di samping itu, siswa pun tidak menjadi bosan dalam mengikuti mata pelajaran yang kita ampu. Barangkali, kejenuhan yang dialami para siswa saat ini karena gurunya mengajar dengan satu pendekatan semata.

 

Selain faktor guru, yang tak kalah penting ialah peran orangtua. Dalam pandangan saya, orangtua memiliki peran yang sama pentingnya dengan guru di kelas. Keberhasilan (atau kegagalan) implementasi kurikulum senyatanya ditentukan oleh peran guru dan/atau orangtua. Di lingkup pendidikan dasar, peran orangtua dianggap peletak dasar bagi perkembangan intelektual, moral, dan spiritual anak-anaknya. Tanpa itu, keberhasilan kurikulum hanyalah mimpi.

 

Pungkasnya, jika pihak Kemdikbud bersikeras bahwa Kurikulum 2013 jalan terus, maka persiapan yang dilakukan harus betul-betul matang. Lebih dari itu, kurikulum baru tersebut dapat menjawab tantangan zaman. Guna menyikapi hal itu, guru dan orangtua memiliki peran penting dalam mempersiapkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Demi terwujudnya generasi emas Indonesia, saya pikir pihak Kemdikbud tidak berbuat setengah-setengah, apalagi setengah hati.[]

 

 

————————————————

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta;
Penulis Buku Guru Bukan Tukang Mengajar (2012)