Merawat (Bahasa) Indonesia dan Daerah

Sudaryanto

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta


Tanggal 4-5 September lalu, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum keberagaman bahasa Asia-Europe Meeting (ASEM). Forum ini merupakan kegiatan diskusi terbuka antara pembuat kebijakan, ahli bahasa, serta perwakilan masyarakat yang aktif dalam pelestarian bahasa daerah yang terancam punah di Asia dan Eropa. Pertanyaannya, apa pesan utama yang dapat diambil dari forum bertaraf internasional tersebut?

Terhadap pertanyaan itu, kita perlu mengetahui terlebih dulu tema yang diangkat pada forum tersebut, yakni “Melestarikan dan Mempromosikan Keberagaman Bahasa di Asia dan Eropa Menuju Pengembangan yang Berkelanjutan”. Jelas kiranya, pesan utama yang ingin disampaikan dari forum ASEM ialah mengajak kita guna melestarikan dan mempromosikan keberagaman bahasa di Asia dan Eropa, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Harapannya, melalui forum itu, kita diajak untuk merawat bahasa Indonesia dan bahasa daerah (ibu). Lain harapan, lain pula kenyataan. Saat ini kosakata asing (baca: bahasa Inggris) banyak bertaburan di sekitar kita. Di Yogyakarta, kita begitu akrab dengan nama-nama, seperti Merapi View, XT Square, Saphir Square, Ambarukmo Plaza, Alfamart, Indomart, Circle K, Kids Fun, Pamela Swalayan, hingga istilah download, handphone, dan mangrove.

Masih banyaknya kosakata asing (baca: bahasa Inggris) di ruang publik, kian membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kuasa terhadap pelestarian bahasa Indonesia dan daerah. Padahal, menurut konstitusi, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia. Alih-alih melestarikan bahasa Indonesia, justru pemerintah dan sebagian masyarakat kita kian meminggirkannya.

Sungguh ironis, apabila di sekolah dan kampus bahasa Indonesia dilestarikan (baca: diuri-uri) oleh siswa/mahasiswa serta guru/dosen, ternyata sikap pemerintah daerah justru sebaliknya. Sebagai guru, penulis cukup prihatin dengan kondisi yang ironis ini. Pasalnya, pemerintah dianggap memiliki kewenangan penuh guna melestarikan bahasa Indonesia dan daerah, selain juga kita selaku penutur aktif (native speaker) bahasa tersebut.

Untuk itu, melalui artikel singkat ini, penulis ingin memberikan usulan terkait hal di atas. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu memiliki komitmen tinggi guna melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia dan daerah. Misalnya, kebijakan pemilihan nama pada toko, tempat usaha, hingga perumahan yang tidak mengggunakan bahasa asing. Kedua, media massa perlu memiliki kepeduliaan pada penggunaan bahasa Indonesia dan daerah.

Ketiga, Badan Bahasa sebagai instansi pemerintah yang menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia, diharapkan memiliki komitmen guna meningkatkan peran bahasa dalam berbagai bidang, serta upaya pelestarian bahasa di Indonesia. Dalam hal ini, Badan Bahasa dapat bekerjasama dengan pihak akademisi di kampus, juga para guru bahasa Indonesia di sekolah.

Dengan upaya-upaya di atas, kiranya penyelenggaraan forum ASEM pada 4-5 September silam tidak menjadi sia-sia. Dari forum bertaraf internasional tersebut, kita berharap (sekali lagi berharap) agar pemerintah dan masyarakat kita tergugah untuk merawat bahasa Indonesia dan bahasa daerah (ibu). Dengan cara begitu, kita pun merawat nasionalisme pada bangsa-negara ini. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika tidak kita sendiri, siapa lagi? Semoga begitu.[]

(Artikel ini telah dimuat di Harian Jogja, Rabu 26 September 2012)

Sudaryanto

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta


Tanggal 4-5 September lalu, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum keberagaman bahasa Asia-Europe Meeting (ASEM). Forum ini merupakan kegiatan diskusi terbuka antara pembuat kebijakan, ahli bahasa, serta perwakilan masyarakat yang aktif dalam pelestarian bahasa daerah yang terancam punah di Asia dan Eropa. Pertanyaannya, apa pesan utama yang dapat diambil dari forum bertaraf internasional tersebut?

Terhadap pertanyaan itu, kita perlu mengetahui terlebih dulu tema yang diangkat pada forum tersebut, yakni “Melestarikan dan Mempromosikan Keberagaman Bahasa di Asia dan Eropa Menuju Pengembangan yang Berkelanjutan”. Jelas kiranya, pesan utama yang ingin disampaikan dari forum ASEM ialah mengajak kita guna melestarikan dan mempromosikan keberagaman bahasa di Asia dan Eropa, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Harapannya, melalui forum itu, kita diajak untuk merawat bahasa Indonesia dan bahasa daerah (ibu). Lain harapan, lain pula kenyataan. Saat ini kosakata asing (baca: bahasa Inggris) banyak bertaburan di sekitar kita. Di Yogyakarta, kita begitu akrab dengan nama-nama, seperti Merapi View, XT Square, Saphir Square, Ambarukmo Plaza, Alfamart, Indomart, Circle K, Kids Fun, Pamela Swalayan, hingga istilah download, handphone, dan mangrove.

Masih banyaknya kosakata asing (baca: bahasa Inggris) di ruang publik, kian membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kuasa terhadap pelestarian bahasa Indonesia dan daerah. Padahal, menurut konstitusi, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia. Alih-alih melestarikan bahasa Indonesia, justru pemerintah dan sebagian masyarakat kita kian meminggirkannya.

Sungguh ironis, apabila di sekolah dan kampus bahasa Indonesia dilestarikan (baca: diuri-uri) oleh siswa/mahasiswa serta guru/dosen, ternyata sikap pemerintah daerah justru sebaliknya. Sebagai guru, penulis cukup prihatin dengan kondisi yang ironis ini. Pasalnya, pemerintah dianggap memiliki kewenangan penuh guna melestarikan bahasa Indonesia dan daerah, selain juga kita selaku penutur aktif (native speaker) bahasa tersebut.

Untuk itu, melalui artikel singkat ini, penulis ingin memberikan usulan terkait hal di atas. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu memiliki komitmen tinggi guna melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia dan daerah. Misalnya, kebijakan pemilihan nama pada toko, tempat usaha, hingga perumahan yang tidak mengggunakan bahasa asing. Kedua, media massa perlu memiliki kepeduliaan pada penggunaan bahasa Indonesia dan daerah.

Ketiga, Badan Bahasa sebagai instansi pemerintah yang menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia, diharapkan memiliki komitmen guna meningkatkan peran bahasa dalam berbagai bidang, serta upaya pelestarian bahasa di Indonesia. Dalam hal ini, Badan Bahasa dapat bekerjasama dengan pihak akademisi di kampus, juga para guru bahasa Indonesia di sekolah.

Dengan upaya-upaya di atas, kiranya penyelenggaraan forum ASEM pada 4-5 September silam tidak menjadi sia-sia. Dari forum bertaraf internasional tersebut, kita berharap (sekali lagi berharap) agar pemerintah dan masyarakat kita tergugah untuk merawat bahasa Indonesia dan bahasa daerah (ibu). Dengan cara begitu, kita pun merawat nasionalisme pada bangsa-negara ini. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika tidak kita sendiri, siapa lagi? Semoga begitu.[]

(Artikel ini telah dimuat di Harian Jogja, Rabu 26 September 2012)