Merawat Eksistensi Jurnal Ilmiah

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan;

Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, China

 

Dalam buku-buku pidato pengukuhan guru besar yang pernah saya baca, salah satunya dari Universitas Negeri Malang (UM), tampak jelas bahwa dosen yang meraih jabatan guru besar cukup rajin mempublikasikan tulisannya ke jurnal ilmiah. Prof. Dr. Dawud (UM), misalnya, begitu rajin mempublikasikan tulisannya ke beberapa jurnal ilmiah, seperti Diksi, Bahasa dan Seni, dan Sekolah Dasar. Bagaimana cara para dosen kita dalam merawat eksistensi jurnal ilmiah?

Eksistensi jurnal ilmiah di perguruan tinggi kita, diakui atau tidak, mengalami pasang-surut. Ada jurnal ilmiah yang dapat terbit (setahun dua kali terbitan) karena didukung oleh pengelolanya dan ingin mempertahankan nilai akreditasi “A” (unggul). Ada pula jurnal ilmiah yang terbit dengan mutu “apa adanya” tanpa berpikir soal akreditasi. Bahkan yang lebih ironi, ada juga jurnal ilmiah yang justru mengalami “mati suri”.

Kondisi “mati suri” sebuah jurnal ilmiah kiranya dapat diurai penyebab-penyebabnya. Di antaranya, keengganan pihak kampus membiayai penerbitan dan distribusi, kesulitan mencari naskah yang berkualitas, hingga pengabaian pengelola terhadap nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah. Kesemua penyebab itu sesungguhnya dapat dijawab secara singkat: belum adanya interkoneksitas jurusan atau program studi antara satu kampus dengan kampus lainnya.

Di Yogyakarta, tercatat ada 5 kampus yang memiliki Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu UAD, UNY, USD, UST, dan UPY. Para dosen dari kelima kampus tadi dapat menjalin kerja sama untuk mengatasi kesulitan mencari naskah, sekaligus mengurangi besarnya biaya penerbitan. Misalnya, melalui aturan bahwa para penulis yang tulisannya dimuat harus berlangganan jurnal selama setahun.

Selain itu, dapat pula dibentuk forum pertemuan antarpengelola jurnal ilmiah dari kelima kampus di atas. Melalui forum tersebut, pengelola jurnal bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dapat berbagi perkembangan informasi meliputi buku referensi dan jurnal dari luar negeri. Yang tak kalah penting ialah informasi mengenai profil peneliti atau akademisi luar negeri yang berpeluang sebagai editor/penyunting ahli bagi jurnal dari kelima kampus tadi.

Saya percaya, semakin banyak kampus yang bergabung ke dalam forum pertemuan, semakin besar peluang untuk memperbaiki kualitas jurnal ilmiah. Lagi pula, jika kualitas jurnal ilmiah sudah baik dan bahkan berakreditasi “A”, saya yakin banyak dosen dari kampus lain yang akan tertarik menulis. Di samping itu, nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah, terutama bagi kemudahan karier akademik para dosen dapat semakin nyata. Bagaimana pendapat Anda?[]