Mobil Murah; Bukti Ketidakberdayaan atau Politisasi Pemerintah

 

 Oleh

Wajiran, S.S., M.A.

 (Dosen Ilmu Budaya Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

 

Dikeluarkannya mobil murah adalah bukti ketidakberdayaan pemerintah terhadap intervensi pengusaha. Pemeritah seolah tutup mata dengan persoalan yang selama ini dihadapi. Persoalan klasik yang seolah tidak akan pernah terselesaikan, kemacetan dibiarkan begitu saja. Kemacetan sudah menjadi ciri khas kota Jakarta, bahkan sudah merambah di hampir semua kota besar di negeri ini. Itu sebabnya dikeluarkannya kebijakan mobil murah justru bertentangan dengan program pemerintah sendiri, yaitu mengurangi kemacetan dan  upaya mengurangi komsumsi BBM di negeri ini.

Keberpihakan pemerintah atas dikeluarkannya mobil murah mengindikasikan bahwa pemerintah benar-benar hanya  mementingkan diri sendiri dan golongan tertentu. Pemerintah tidak berfikir panjang bagaimana dampak membanjirnya mobil murah ini terhadap kemacetan di kota-kota besar. Padahal secara logika sebelum ada kebijakan mobil murah pun, pemerintah sudah kewalahan mengurai kemacetan di negeri ini.  

Dengan alasan apapun mobil murah akan menimbulkan banyak masalah bagi bangsa kita. Baik persoalan kemacetan, perubahan gaya hidup, matinya kemungkinan mobil nasional dan lain sebagainya. Pasalnya semua mobil murah yang bakalan laku keras di negeri ini adalah produksi para pemain lama yang semuanya adalah milik investor asing.

Adanya mobil murah juga akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat kita. Adanya mobil murah akan mendorong golongan masyarakat ekonomi menengah kebawah berlomba membeli produk ini. Walhasil, jalanan akan penuh sesak dengan membanjirnya mobil murah yang akan semakin mempersulit penyelesaian kemacetan.

Dikeluarkannya kebijakan mobil murah juga mengindikasikan seolah pemerintah ingin lepas tangan atas ketidakmampuannya menyediakan fasilitas transportasi umum. Adanya mobil murah seolah akan menyelesaikan persoalan transportasi umum. Itu sebabnya selama fasilitas umum di kota-kota besar belum terpenuhi termasuk jaminan kenyamanan dan keselamatannya, keberadaan mobil murah pasti akan semakin mempersulit penataan kota-kota besar di negeri ini.

Keputusan atas adanya mobil murah sepertinya dipolitisasi pemegang kekuasaan negeri ini. Itu sebabnya isu ini mendapat berbagai tanggapan yang beragam dari banyak tokoh. Namun demikian, hanya beberapa yang komit dengan keberfihakannya atas kepentingan bersama. Beberapa dari mereka masih mendukung pemerintah karena kepetingan politik mereka.  

Itu sebabnya persoalan mobil murah menjadi sebuah ujian, mana pemimpin yang pro yakyat dan mana yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri. Bagi para pemimpin yang sekaligus pengusaha, apalagi usaha di bidang otomotif pasti akan mendukung adanya mobil murah. Yusuf Kalla misalnya, ia mendukung adanya mobil murah. Mobil murah dianggapnya bagian dari layanan pemerintah kepada rakyat berekonomi pas-pasan.

Berbeda halnya dengan Jokowi, ia tetap konsisten dan realistis dengan adanya kebijakan mobil murah. Ia menolak dikeluarkannya mobil murah karena kebijakan ini akan melahirkan masalah rumit bagi negeri ini. Keputusan Jokowi untuk memboikot pameran mobil murah yang diselenggarakan IIMS adalah langkah yang berani. Gubernur Jakarta itu secara tegas menolak kebijakan pemerintah yang telah merestui adanya mobil murah. Jokowi juga telah mengirimkan surat keberatan atas keberadaan mobil murah kepada Wakil Presiden.

Selain hanya menguntungkan segelintir orang, kebijakan mobil murah secara telak akan mematahkan keberadaan mobil nasional yang selama ini diimpi-impikan rakyat Indonesia. Sangat sulit investor mobil nasional bersaing dengan kompetitor-kompetitor besar yang secara modal dan peralatan lebih maju dan sudah punya pasar. Itulah sebabnya mengapa keberadaan mobil murah  ini bukannya menciptakan keadilan bagi masyarakat, tetapi eksploitasi besar-besaran terhadap  rakyat kecil di negeri ini.

            Kita memang tidak habis pikir   dengan keputusan pemerintah ini. Sudah tahu program utama pemerintah adalah mengurangi konsumsi BBM dan kemacetan, tetapi justru pemerintah mengeluarkan keputusan yang bertolakbelakang. Apakah keputusan ini ada kaitan dengan semakin surutnya dukungan partai penguasa di negeri ini? Apakah kebijakan ini bagian dari strategi partai penguasa untuk menjatuhkan lawan politik tertentu, yang kebetulan memiliki tanggungjawab menyelesaikan kemacetan di Ibu Kota?

Apapun motif kebijakan ini, pemerintah telah mengambil keputusan yang tidak bijaksana. Masyarakat kecil adalah tumbal potensial atas dinamika kepentingan politis penguasa negeri ini.  Itu sebabnya persoalan mobil murah bukan semata-mata keputusan ekonomis tetapi juga politis. Wallahu’alam bishawab.