Pancasila dan Konflik Masyarakat

Dani_ikom

Dani Fadillah*

“Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai”

Sambil mendengarkan lagu yang dibawakan oleh Band Gigi, saya membuat tulisan ini sambil berdoa semoga kedamaian segera senantiasa menyelimuti bumi pertiwi. Masih jelas dalam ingatan kita tawuran antar pelajar yang sampai menimbulkan korban jiwa nyawa melayang sia-sia, kini muncul berita kerusuhan antarwarga yang terjadi di Lampung Selatan hingga menewaskan belasan orang. Apa pun pemicunya, menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan, apalagi hingga menghilangkan nyawa orang lain bukanlah hal yang dibenarkan dalam norma bermasyarakat. Pasti lebih bijak dan indah jika semua soal diselesaikan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan,salah satunya dengan bermusyawarah. Dan bangsa ini sangat bisa untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara damai. Namun kenapa hal seperti ini masih saja terjadi?

Dimasyarakat, konflik yang berujung pada perkelahian massal biasanya terjadi hanya karena masalah sepele atau karena mengandung unsur SARA yang tak perlu. Walaupun tidak menyeluruh, kenyataan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kita. Di manakah jati diri kita sebagai bangsa? Apakah sebagai bangsa kita telah melupakan way of life kita, yaitu Pancasila, yang menjadi fondasi bangunan besar rumah Indonesia.

Pancasila adalah sebuah rahmat dari Tuhan YME untuk seluruh masyarakat indonesia, agar masyarakat indonesia memahami dan mau mengamalkan nilai-nilai yang tertuang didalamnya. Bahkan Bung Karno sendiri mengakui bahwa dia bukan penemu Pancasila, Bung Karno mengatakan bahwa dia hanya menemukan Pancasila, Pancasila adalah pondasi-pondasi dasar kemasyarakatan yang sedari awal sudah tertanam dengan kokoh dalam sanubari rakyat Indonesia.

Artinya dalam keseharian hidup, nilai- nilai itu mewarnai interaksi masyarakat kita. Intisari dari Pancasila itu adalah “gotong royong”, dan gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopiskuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong.

Jadi dalam gotong royong itu ada kebersamaan, kontribusi semua pihak, persatuan, kepentingan bersama, perpaduan sumber daya, saling melengkapi atas kelebihan dan kekurangan. Dan, ini relevan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau keragaman dalam kesatuan (diversity in unity). Sangat jelas bahwa keberagaman masyarakat Indonesia itu sebagai rahmat dari Tuhan yang harus dikelola bagi kebaikan bersama. Hemat kata semua warga negara Indonesia punya hak dan kewajiban yang sama kepada negara. Kedewasaan rakyat dalam mengelola konflik sebenarnya sangat menggembirakan.

Atas fakta dalam masyarakat seperti yang diuraikan sebelumnya, timbul pertanyaan apakah nilai-nilai dari Pancasila itu saat ini masih ada dan hidup dalam sanubari masyarakat kita? Untuk menjawab pertanyaan ini,kita bisa menggunakan cara pandang negatif atau positif. Jika menggunakan kacamata negatif, kita akan pesimis dan melihat kenyataan yang ada tanpa harapan. Namun jika menggunakan cara pandang positif, kita masih melihat bahwa nilai-nilai itu masih ada dan hidup dalam masyarakat kita.

Yang diperlukan adalah upaya untuk membangunkan dan memperkuat memori kolektif kita akan nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak bisa melalui anjuran, omongan, atau propaganda saja, tapi yang lebih mendasar adalah melalui keteladanan dari para elite dan para pemimpin bangsa di semua tingkatan dari pusat sampai daerah. Manakala yang dipertontonkan para elite dan para pemimpin adalah konflik, ketidakdewasaan berpikir dan bersikap, serta mempertontonkan tindakantindakan tidak terpuji lainnya, maka jangan serta-merta menyalahkan pelajar yang tawuran atau masyarakat yang berkonflik. Memang masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab, tapi faktor keteladanan dari elite dan atau pemimpin ini sangat signifikan untuk terciptanya masyarakat yang hidup berdampingan secara damai. Sehingga energi dan sumber daya kita sebagai bangsa bisa kita fokuskan bagi pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

Pengamat Komunikasi Politik

(Artikel ini sudah dimuat di Harian Jogja)



Dani_ikom

Dani Fadillah*

“Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai”

Sambil mendengarkan lagu yang dibawakan oleh Band Gigi, saya membuat tulisan ini sambil berdoa semoga kedamaian segera senantiasa menyelimuti bumi pertiwi. Masih jelas dalam ingatan kita tawuran antar pelajar yang sampai menimbulkan korban jiwa nyawa melayang sia-sia, kini muncul berita kerusuhan antarwarga yang terjadi di Lampung Selatan hingga menewaskan belasan orang. Apa pun pemicunya, menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan, apalagi hingga menghilangkan nyawa orang lain bukanlah hal yang dibenarkan dalam norma bermasyarakat. Pasti lebih bijak dan indah jika semua soal diselesaikan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan,salah satunya dengan bermusyawarah. Dan bangsa ini sangat bisa untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara damai. Namun kenapa hal seperti ini masih saja terjadi?

Dimasyarakat, konflik yang berujung pada perkelahian massal biasanya terjadi hanya karena masalah sepele atau karena mengandung unsur SARA yang tak perlu. Walaupun tidak menyeluruh, kenyataan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kita. Di manakah jati diri kita sebagai bangsa? Apakah sebagai bangsa kita telah melupakan way of life kita, yaitu Pancasila, yang menjadi fondasi bangunan besar rumah Indonesia.

Pancasila adalah sebuah rahmat dari Tuhan YME untuk seluruh masyarakat indonesia, agar masyarakat indonesia memahami dan mau mengamalkan nilai-nilai yang tertuang didalamnya. Bahkan Bung Karno sendiri mengakui bahwa dia bukan penemu Pancasila, Bung Karno mengatakan bahwa dia hanya menemukan Pancasila, Pancasila adalah pondasi-pondasi dasar kemasyarakatan yang sedari awal sudah tertanam dengan kokoh dalam sanubari rakyat Indonesia.

Artinya dalam keseharian hidup, nilai- nilai itu mewarnai interaksi masyarakat kita. Intisari dari Pancasila itu adalah “gotong royong”, dan gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopiskuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong.

Jadi dalam gotong royong itu ada kebersamaan, kontribusi semua pihak, persatuan, kepentingan bersama, perpaduan sumber daya, saling melengkapi atas kelebihan dan kekurangan. Dan, ini relevan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau keragaman dalam kesatuan (diversity in unity). Sangat jelas bahwa keberagaman masyarakat Indonesia itu sebagai rahmat dari Tuhan yang harus dikelola bagi kebaikan bersama. Hemat kata semua warga negara Indonesia punya hak dan kewajiban yang sama kepada negara. Kedewasaan rakyat dalam mengelola konflik sebenarnya sangat menggembirakan.

Atas fakta dalam masyarakat seperti yang diuraikan sebelumnya, timbul pertanyaan apakah nilai-nilai dari Pancasila itu saat ini masih ada dan hidup dalam sanubari masyarakat kita? Untuk menjawab pertanyaan ini,kita bisa menggunakan cara pandang negatif atau positif. Jika menggunakan kacamata negatif, kita akan pesimis dan melihat kenyataan yang ada tanpa harapan. Namun jika menggunakan cara pandang positif, kita masih melihat bahwa nilai-nilai itu masih ada dan hidup dalam masyarakat kita.

Yang diperlukan adalah upaya untuk membangunkan dan memperkuat memori kolektif kita akan nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak bisa melalui anjuran, omongan, atau propaganda saja, tapi yang lebih mendasar adalah melalui keteladanan dari para elite dan para pemimpin bangsa di semua tingkatan dari pusat sampai daerah. Manakala yang dipertontonkan para elite dan para pemimpin adalah konflik, ketidakdewasaan berpikir dan bersikap, serta mempertontonkan tindakantindakan tidak terpuji lainnya, maka jangan serta-merta menyalahkan pelajar yang tawuran atau masyarakat yang berkonflik. Memang masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab, tapi faktor keteladanan dari elite dan atau pemimpin ini sangat signifikan untuk terciptanya masyarakat yang hidup berdampingan secara damai. Sehingga energi dan sumber daya kita sebagai bangsa bisa kita fokuskan bagi pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

Pengamat Komunikasi Politik

(Artikel ini sudah dimuat di Harian Jogja)