Pelajaran Dari Idul Kurban

Sudaryanto

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta

Belajar dari Ibrahim

Belajar takwa kepada Allah

Belajar dari Ibrahim

Belajar untuk mencintai Allah

Snada, “Belajar dari Ibrahim”

Momentum Idul Adha atau Idul Kurban yang jatuh pada 10 Dzulhijjah ini, bermula dari kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Ismail. Setiap tahun kita, umat Islam di seluruh dunia selalu mengenang dongeng suci tersebut. Meski kisah tersebut telah terjadi pada puluhan atau ratusan tahun silam, ajaibnya makna dari kisah Nabi Ibrahim dan anak semata wayangnya itu selalu hidup sepanjang masa. Sekurang-kurangnya ada pelajaran yang dapat kita petik di balik kisah tersebut.

Dalam kacamata saya, ada tiga pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya itu. Pertama, pelajaran ketaatan. Dikisahkan, Nabi Ibrahim ialah sosok Nabi yang taat kepada perintah Allah SWT. Termasuk tatkala ia diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Al Quran menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istri dan anaknya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.

Kata Ibrahim dalam doanya, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaan Allah Rab al-Alamin…”. Ismail juga demikian: ia siap disembelih sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, mencintai Allah SWT merupakan titik awal dan akhir dari perjalanan hidupnya yang sarat liku-liku. Karena itu, Idul Kurban juga merupakan simbolisasi dari cinta kita kepada Allah SWT, Dzat Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kedua, pelajaran berbagi kepada sesama. Seusai shalat Idul Adha, biasanya dimulai prosesi pemotongan hewan kurban di pelataran masjid. Setelahnya, daging hewan kurban tadi diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin dan kaum dhuafa. Atau, jika memungkinkan dapat pula didistribusikan kepada pengelola panti asuhan dan pondok pesantren di daerah lainnya. Pendek kata, kebermanfaatan hewan kurban itu menjadi jelas.

Dalam hal ini, semangat berbagi kepada sesama—seperti pada peristiwa Idul Kurban—mestinya lebih dikedepankan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah masyarakat yang kian egois dan materialistis, semangat berbagi kepada sesama perlu ditumbuhkan, meski hal itu tidaklah semudah menyimak khotbah. Alangkah bijaknya semua orang memiliki semangat berbagi kepada sesama, terlepas dari status sosial, agama, pekerjaan, maupun suku/ras.

Ketiga, pelajaran berkorban demi orang lain. Dalam kisahnya, Nabi Ibrahim AS berkorban perasaan dengan cara meninggalkan istri dan anaknya di tengah gurun yang kering kerontang. Saat ditanya oleh Hajar istrinya, mengapa dirinya dan Ismail ditinggalkan di sana, Ibrahim hanya berujar singkat, “Ini perintah dari Allah SWT.” Baik Hajar maupun Ibrahim sama-sama memiliki keyakinan bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hamba yang bertawakal kepada-Nya.

Jika diresapi dalam-dalam, kisah Nabi Ibrahim, istri dan anaknya itu, mengajarkan kepada kita perlunya pengorbanan dalam kehidupan ini. Sebagai guru/pendidik, Anda dituntut memiliki pengorbanan yang luar biasa bagi anak didik Anda. Demi kesuksesan hidup mereka, Anda siap berkorban banyak hal. Semoga kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya itu tak hanya menjadi tradisi agama, tetapi juga menginspirasi semua orang untuk berkorban dalam hidup ini.[]

Sudaryanto

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta

Belajar dari Ibrahim

Belajar takwa kepada Allah

Belajar dari Ibrahim

Belajar untuk mencintai Allah

Snada, “Belajar dari Ibrahim”

Momentum Idul Adha atau Idul Kurban yang jatuh pada 10 Dzulhijjah ini, bermula dari kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Ismail. Setiap tahun kita, umat Islam di seluruh dunia selalu mengenang dongeng suci tersebut. Meski kisah tersebut telah terjadi pada puluhan atau ratusan tahun silam, ajaibnya makna dari kisah Nabi Ibrahim dan anak semata wayangnya itu selalu hidup sepanjang masa. Sekurang-kurangnya ada pelajaran yang dapat kita petik di balik kisah tersebut.

Dalam kacamata saya, ada tiga pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya itu. Pertama, pelajaran ketaatan. Dikisahkan, Nabi Ibrahim ialah sosok Nabi yang taat kepada perintah Allah SWT. Termasuk tatkala ia diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Al Quran menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istri dan anaknya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.

Kata Ibrahim dalam doanya, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaan Allah Rab al-Alamin…”. Ismail juga demikian: ia siap disembelih sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, mencintai Allah SWT merupakan titik awal dan akhir dari perjalanan hidupnya yang sarat liku-liku. Karena itu, Idul Kurban juga merupakan simbolisasi dari cinta kita kepada Allah SWT, Dzat Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kedua, pelajaran berbagi kepada sesama. Seusai shalat Idul Adha, biasanya dimulai prosesi pemotongan hewan kurban di pelataran masjid. Setelahnya, daging hewan kurban tadi diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin dan kaum dhuafa. Atau, jika memungkinkan dapat pula didistribusikan kepada pengelola panti asuhan dan pondok pesantren di daerah lainnya. Pendek kata, kebermanfaatan hewan kurban itu menjadi jelas.

Dalam hal ini, semangat berbagi kepada sesama—seperti pada peristiwa Idul Kurban—mestinya lebih dikedepankan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah masyarakat yang kian egois dan materialistis, semangat berbagi kepada sesama perlu ditumbuhkan, meski hal itu tidaklah semudah menyimak khotbah. Alangkah bijaknya semua orang memiliki semangat berbagi kepada sesama, terlepas dari status sosial, agama, pekerjaan, maupun suku/ras.

Ketiga, pelajaran berkorban demi orang lain. Dalam kisahnya, Nabi Ibrahim AS berkorban perasaan dengan cara meninggalkan istri dan anaknya di tengah gurun yang kering kerontang. Saat ditanya oleh Hajar istrinya, mengapa dirinya dan Ismail ditinggalkan di sana, Ibrahim hanya berujar singkat, “Ini perintah dari Allah SWT.” Baik Hajar maupun Ibrahim sama-sama memiliki keyakinan bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hamba yang bertawakal kepada-Nya.

Jika diresapi dalam-dalam, kisah Nabi Ibrahim, istri dan anaknya itu, mengajarkan kepada kita perlunya pengorbanan dalam kehidupan ini. Sebagai guru/pendidik, Anda dituntut memiliki pengorbanan yang luar biasa bagi anak didik Anda. Demi kesuksesan hidup mereka, Anda siap berkorban banyak hal. Semoga kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya itu tak hanya menjadi tradisi agama, tetapi juga menginspirasi semua orang untuk berkorban dalam hidup ini.[]