Saatnya Terapkan Restorative Justice

 

Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH*)

Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia yang lebih kental dengan Model Retributive Justice, yaitu konsep penyelesaian perkara pidana dengan cara penghukuman (pemidanaan). Segala bentuk kejahatan dan pelanggaran baik dalam KUHP atau di luar KUHP yang terbukti di persidangan diputus dengan cara menghukum pelaku, sedangkan hak-hak korban dan masyarakat kurang diperhatikan. Sebagai contoh, jika ada kasus pencurian laptop, kemudian korban melapor kepada polisi, beberapa hari kemudian pencurinya berhasil ditangkap namun barang buktinya telah dijual, kemudian si pencuri diproses secara hukum dan akhirnya divonis penjara oleh Hakim. Pertanyaannya bagaimana dengan kerugian korban (pemilik laptop) pasca putusan hakim yang memenjarakan pelaku. Apakah dia berhak menuntut si pencuri untuk mengembalikan laptopnya? Tentu jawabannya tidak, karena pencuri sudah menerima balasan atas perbuatan mencurinya itu dengan menjalani hukuman di penjara.

          Ilustrasi tersebut menggambarkan, bahwa model Retributive Justice lebih fokus pada pelaku dan mengabaikan hak-hak korban. Penerapan hukuman berfungsi menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi, sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain yang akan melakukan kejahatan yang sama. Namun model penghukuman tersebut kurang memperhatikan nasib korban dan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh korban. Karena, korban tidak terlibat secara langsung dalam menentukan penyelesaian kasus tersebut. Negara (aparat penegak hukum), telah mengambil alih hak-hak korban dengan mengatasnamakan penegakan hukum (law enforcement) melalui prosedur yang berlaku.  Kepentingan korban diwakili oleh negara dengan memidanakan pelaku, sedangkan korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh negara. Terkadang putusan hakim dapat memuaskan bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa, karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan korban dan masyarakat.  

            Paradigma Restorative Justice menawarkan solusi yang berbeda, proses penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku, korban bahkan masyarakat. Upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat merupakan kata kunci implementasi paradigma restorative justice. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Sedangkan Pengadilan berperan sebagai fasilitator dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik  dengan tujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Putusan Pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku berupa kerja sosial dan lainnya. Dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar kembali harmonis.

Perlu dipahami bahwa, ketika terjadi tindak kejahatan telah terjadi kerusakan hubungan di masyarakat, khususnya bagi para pihak yang terlibat, sehingga upaya untuk mengembalikan hubungan antar keduanya sangat diperlukan. Sebab tidak jarang, pasca putusan pengadilan selama ini, masih menyisakan konflik dan dendam antara pelaku dengan korban, misal dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan.   

            Model Restorative Justice telah banyak diterapkan di berbagai negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Korea dan lain-lain. Salah satu keuntungan yang didapat dari penerapan model ini adalah mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam menampung narapidana. Kasus kerusuhan di LP Tanjung Gusta Medan, misalnya merupakan dampak dari overcapacity penghuni dibandingkan ruang penjara. Selain itu, efisiensipun dapat dilakukan di lembaga pengadilan, dengan tidak menyidangkan kasus-kasus “kecil” (pencurian kakao, semangka, kapas, sandal jepit dan lain-lain) yang tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan biaya operasional persidangan. Penerapan Keadilan Restoratif juga dapat mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung yang setiap akhir tahun tidak kurang dari 8.000 perkara yang tidak mampu diselesaikan oleh 54 Hakim Agung. Oleh karenanya aparat di Kepolisian dan Kejaksaan dapat berperan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum pidana yang mengandung konflik antar individu.

            Namun tidak mudah untuk mewujudkan pendekatan restorative justice dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yang masih dipengaruhi mainstream retributive justice, dengan teori dasar bahwa perbuatan pidana merupakan pelanggaran terhadap aturan yang dibuat oleh negara, sehingga penyelesaian perkara hanya fokus terhadap pelaku sedangkan hak-hak korban diwakili oleh negara. Hingga saat ini model Restorative Justice yang merupakan bagian dari hukum progresif, masih menjadi perdebatan antar ahli hukum dan belum mampu diterapkan oleh aparat penegak hukum secara sistemik.

            Oleh karena itu, dalam  rangka menyambut Milad ke-53, Universitas Ahmad Dahlan mengangkat tema tentang: Restorative Justice for a more Harmonious Indonesia. Maksudnya, dengan Keadilan Restoratif dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang di Indonesia. Universitas Ahmad Dahlan dapat berperan penting dalam mendorong perbaikan sistem hukum di Indonesia, sebagai wujud tanggung jawab moral akademik, dengan menawarkan gagasan paradigma Restorative Justice. Momentum perubahan telah terbuka, seiring dengan dilakukannya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat saat ini.

 

Penulis :

Dekan Fakultas Hukum UAD

Ketua Panitia Milad 53 UAD.