SBY TIDAK PROFESIONAL DAN TIDAK PROPORSIONAL

 

Wajiran, S.S., M.A.

(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Model kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lama diragukan untuk bisa membantu menyelesaikan persoalan-persoalan di negeri ini. Pasalnya, banyak persoalan yang justru lahir dari model kepemimpinannya sendiri. Meskipun terlihat santun dan bijak tetapi ternyata banyak hal yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang harus dilaksanakan sebagai seorang pemimpin bangsa. Wajar jika masyarakat banyak menilai model kepemimpinan SBY lebih banyak hanya tebar pesona. Akhirnya banyak kebijakan-kebijakan yang sekedar menyenangkan tetapi tidak menyelesaikan persoalan.

Persoalan pertama yang sangat mencolok adalah kebijakan membagikan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Keputusan memberikan BLT ini jelas-jelas tidak menyelesaikan persoalan ekonomi rakyat, karena dampak kenaikan BBM dengan jumlah nominal BLT tidak sebanding. Itu sebabnya BLT pernah diartikan sebagai Bantuan Langsung Tewas. Meskipun mendapat BLT masyarakat miskin tetap saja hidup dalam kesulitan, karena dampak dari kenaikan BBM merambah pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainya.

Strategi ini sebenarnya hanya untuk menekan gejolak atas kebijakan menaikan harga BBM yang diambil SBY, tidak pro rakyat. Setrategi ini nampaknya berhasil menekan atau membungkam perlawanan rakyat atas kebijakan menaikan harga BBM. Apakah rencana kenaikan BBM tahun ini juga akan diikuti dengan model BLT model baru? Kita tunggu saja.

Kedua, sering kali SBY terlihat tidak tegas dengan persoalan-persoalan yang membelit orang-orangnya sendiri, terutama dari kalangan partai Demokrat. Sudah banyak kader partai ini yang secara jelas terjebak dalam ranah hukum kaitannya dengan proyek-proyek yang dijalankan kabinet pemerintahanya. Kita tidak melihat ketegasan SBY sebagai Penasehat partai Demokrat terhadap pelanggaran yang dilakukan kader-kader partai yang didirikanya itu. Ada kecenderungan SBY memberi dukungan kepada kadernya yang terjebak dalam kubangan kejahatan korupsi. Ketidaktegasan SBY nampak jelas pada sikapnya terhadap kader-kader partainya;  Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan lain sebagainya.

Ketiga, kepemimpinan SBY juga nampak tidak tegas terhadap anggota kabinet yang tidak profesional. SBY cenderung menghindari konfrontasi dari lawan-lawan politik atau partai oposisi, sehingga tidak berani tegas terhadap para menteri yang tidak profesional. Pengamat politik Arbi Sanit pernah menjuluki SBY sebagai presiden taksi, yang tidak pernah bisa tegas terhadap sopir-sopirnya meskipun membebani perusahaannya. SBY cenderung mencari aman agar partai dimana anggota kabinet bernaung tidak menentang kebijakan dan mengkritiknya. Kalau SBY menertibkan menteri-menteri yang tidak profesional pasti partai pendukung menteri itu akan mengambil jalan oposisi frontal.

Keempat, kasus terakhir ketidakprofesioanalan dan ketidakproporsionalan SBY nampak atas kebijakan SBY untuk tetap mengurusi partai demokrat meskipun ia sedang mengemban amanah berat sebagai Presiden. Sikap mendua ini tentu akan sangat menggangu kinerja SBY sebagai seorang presiden. Selain dibebani tugas-tugas berat kenegaraan, SBY juga harus memikirkan keberlangsungan partai Demokrat. Bahkan kasus terakhir SBY sering membicarakan atau membahas persoalan-persoalan partai di Istana Negara yang seharusnya bebas dari persoalan pembahasan kepentingan golongan, termasuk persoalan partai politik yang dinahkodainya.

Model kepemimpinan ala SBY ini sangat tidak efektif dalam membangun bangsa ini. Pasalnya jika setiap pemimpin hanya mencari aman, maka kepentingan rakyat akan dikesampingkan. Model kepemimpinanya tidak bisa mendukung peningkatan kualitas hidup bangsa ini untuk lebih maju, karena justru melahirkan orang-orang yang berprinsip asal bapak senang, yang akhirnya merugikan nama baik pemerintahanya sendiri. Di samping itu, terlihat juga sistem demokrasi tidak berjalan secara maksimal, karena adanya pengekangan dimana-mana, meskipun secara terselubung atau dengan cara-cara yang sangat santun.

Sebagai seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat, seharusnya ia berani mengambil langkah untuk kepentingan rakyat. Bukan sekedar mencari aman diri sendiri dengan mengakomodasi berbagai kepentingan yang cenderung menjerumuskan pemerintahannya dalam kubangan korupsi dan manipulasi. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang bukan hanya bisa menyejukan hati dan pikiran rakyat, tetapi juga seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan-keputusan yang bisa menyelesaikan persoalan riil bangsa ini. Itu sebabnya ia harus bebas dari tendensi mementingkan diri sendiri, keluarga dan golongan.

 Kita hanya berharap model kepemimpin SBY ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tegas dan berani “pasang badan” demi kepentingan bersama. Hanya pemimpin berjiwa besar, yang bebas  dari kepentingan golongan, yang akan memajukan bangsa yang sangat besar ini. Wallhua’lam bishawab.

Yogyakarta, 18 April 2013