SEBUAH PERTANYAAN UNTUK UN

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Munsyi Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Pelaksanaan UN setiap tahun dan di semua jenjang pendidikan, dari SD, SMP, hingga SMA dan sederajat, selalu memunculkan anomali. Adanya siswa kesurupan, melakukan aksi contek-mencontek di kelas, sampai bunuh diri. Belum lagi fenomena pola pembelajaran di kelas yang mendadak berubah (baca: di-drilling soal-soal UN per minggu). Akibatnya, siswa menjadi cepat bosan, ngantuk, lemas, semangat belajar rendah, dan ujung-ujungnya mengalami stres.

Pelaksanaan UN nyata-nyata merupakan bentuk kesalahkaprahan dari dua hal. Pertama, kesalahkaprahan segi konstitusi. Pemerintah selalu berdalih bahwa pelaksanaan UN sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Berbekal PP tersebut, pemerintah terus-menerus melaksanakan UN setiap tahun, kendatipun terdengar kritik, masukan, dan saran dari berbagai pihak.

Padahal, aturan yang digunakan oleh pemerintah jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 58. Pasal 58 UU Sisdiknas memberikan kewenangan penuh bagi pendidik/guru untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik/siswa, bukan pihak Kemdikbud atau Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) seperti yang terjadi selama ini.

Kedua, kesalahkaprahan segi evaluasi pendidikan. UN merupakan tes sumatif yang bertujuan mengevaluasi kemampuan akhir pelajar setelah menjalani proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Adalah masuk akal, jika yang berhak mengevaluasi siswa ialah guru, bukan pemerintah melalui UN. Namun, posisi guru di Indonesia selama ini belum maksimal, untuk tidak mengatakan rendah, dalam melakukan daya tawar evaluasi pembelajaran.

Secara paradigma, UN bercorak evaluasi yang hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran. Dari situ, harapannya desain dan kualitas pembelajaran di kelas diperbaiki dengan berbagai upaya dan ikhtiar. Namun, harapan tinggal harapan. Usai pelaksanaan dan pengumuman hasil UN, usai pula perhatian pemerintah terhadap guru dan sekolah. Walhasil, hasil UN sama sekali tidak berpengaruh apapun terhadap kemajuan pembelajaran di kelas.

Pada gilirannya, UN juga berbeda dengan Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). SNMPTN merupakan tes prediksi untuk menakar kemampuan kognitif siswa guna mengantisipasi kemampuan calon mahasiswa. Fungsi UN dan SNMPTN berbeda. Tak bisa sembarangan dicampuradukkan antara keduanya. Adalah bijaksana jika pihak Kemdikbud, khususnya Dikti memahami perbedaan kedua fungsi tes tersebut.

Kembali ke soal UN. Dikarenakan bercorak evaluasi, UN sepatutnya tidak bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa. Yang selama ini terjadi, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA dan sederajat, UN selalu dijadikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal, UN berbeda dengan testing yang memang memiliki fungsi untuk menentukan kelulusan. Lantas, apa solusi terbaik yang dapat diambil oleh pemerintah saat ini?

Jawabannya sederhana: hapuskan UN dan kembalikan fungsi evaluasi pembelajaran siswa kepada guru di sekolah, sebagaimana termaktub dalam Pasal 58 UU Sisdiknas. Dengan cara demikian, kita pun yakin bahwa rezim testing UN yang serba anomali itu, akan menghilang seketika. Pada gilirannya, citra dan martabat guru sebagai pendidik profesional akan pulih kembali, dan pemerintah semakin memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran di sekolah. Semoga![]