Swasembada Pangan Indonesia Masih Sulit

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan mengatakan, sangat sulit bagi Indonesia dalam waktu dekat ini bisa melakukan swasembada pangan. Bahkan, hal itu sangat tidak mungkin karena penyusutan lahan pertanian terus terjadi di Indonesia.

“Kerusakan saluran irigasi dan waduk juga terus terjadi. Boleh saja, kita saat ini berteriak tak perlu lagi impor pangan. Namun kenyataannya, komoditas beras, gandum, gula, kedelai, dan bahan pangan lain, hingga sekarang pun masih impor,” ucap Zulkifli saat menjadi pembicara dalam seminar “Kedaulatan Pangan untuk Kemandirian Bangsa, dari Yogya untuk Indonesia”, di kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (10/6/2015).

Seminar ini digelar atas  kerja sama Majelis  Pemberdayaan Masyarakat (MPM),  Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY dengan UAD.

Zulkifli melanjutkan, “Sulit untuk berbicara peningkatan produktivitas pangan jika setiap tahun lahan pertanian menyusut. Begitu pula pembangunan infrastruktur irigasi. Memang, sudah direncanakan pembangunan sejumlah waduk. Namun sementara ini, yang kita dengar justru kerusakan waduk atau penyusutan fungsi irigasi. Jadi, sekali lagi, swasembada pangan masih sangat jauh.”

Dari sisi distribusi pupuk ke petani pun masih belum beres. Kepemilikan lahan pertanian saat ini rata-rata hanya 0,3 hektar per KK (kepala keluarga). Bibit unggul juga belum ditemukan secara baik sehingga mustahil bagi para petani dengan lahan sempit, akan berani melakukan inovasi. Bahkan karena tidak menguntungkan lagi, lahan mereka justru dijual. Akhirnya, dikonversi untuk kepentingan lain di luar pertanian.

Kondisi inilah yang membuat Zulkifli pesimis Indonesia bisa melakukan swasembada pangan dalam waktu dekat.

Sementara itu, Ketua MPM PWM DIY, Dwi Kuswantoro mengatakan, banyak hal ironis di negeri ini menyangkut swasembada maupun kedaulatan pangan. “Sungguh suatu ironi jika kita bicara swasembada pangan yang hanya diartikan sebagai bebas dari impor beras. Padahal, kita saat ini masih seratus persen mengimpor gandum. Begitu pula dengan bahan pangan yang lain.”

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengurangi ketergantungan pada beras. “Dengan kata lain, kita harus melakukan diversifikasi pangan. Harus mulai dilirik bahan pangan nonberas maupun gandum,” lanjut Dwi.

Menurutnya, singkong bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih. Terutama untuk kabupaten Gunungkidul DIY, tanaman ini sangat mudah diperoleh dan murah. Pihaknya juga mengungkapkan bahwa telah melakukan  kerja sama dengan petani di Gunungkidul sejak 2012 lalu, untuk pengembangan dan peningkatan bahan olahan pangan dari singkong.

“Ternyata, banyak hal yang bisa dilakukan dari bahan baku singkong dan ini harus terus kita kembangkan,” pungkasnya.