enterprener_uad.jpg

Tantangan Mahasiswa dan Perguruan Tinggi dalam Perkembangan Dunia Global

“Mempersiapkan diri dengan nilai lebih untuk menghadapi tantangan global khususnya MEA. Hanya lulusan yang sudah memiliki sertifikat kompetensi yang nantinya bisa bertebaran dalam bursa kerja Asean,” ujar Prof. H. Lincolin Arsyad Ph.D. saat mengisi kuliah umum pada acara Achievement Motivation Training Action di Graha Wana Bhakti Yasa, Minggu, (15/11/2015).

Menurutnya, tenaga asing di Indonesia sudah sangat banyak dan meningkat setiap tahunnya, baik di sektor perdagangan, keuangan, perfilman, kontraktor, dll.

“Orang asing merasa nyaman tinggal di Indonesia dengan biaya hidup yang murah, tetapi gajinya tinggi. Sudah selayaknya karena mereka merupakan tenaga ahli di negara kita,” lanjut Direktur Program MEP UGM sekaligus Ketua Majelis Pendidikan Tinggi dan Litbang Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Ia menambahkan bahwa orang pintar dari negara berkembang akan mencari negara maju untuk bekerja. Salah satu contohnya adalah India yang mendapat julukan sebagai negara berjuta doktor. Karena banyak sekali doktor dan tenaga ahli yang berasal dari India.

“Arus perpindahan tenaga kerja terampil akan terjadi dari negara yang lebih miskin ke negara yang lebih maju. Sehingga akan menyebabkan kekosongan (hollow-out) tenaga kerja terampil di negara yang lebih miskin,” paparnya.

“Jika dilihat dari aspek sumber daya alam (SDA) dan posisi Indonesia yang sedang dalam proses menuju negara maju, sudah sangat pasti Indonesia ke depan akan banyak membutuhkan tenaga ahli profesional. Indonesia memang memiliki banyak sekali lulusan perguruan tinggi, tetapi untuk tenaga ahli yang profesional masih minim.”

Indonesia ibarat gula dan pekerja sebagai semutnya. Bahwa Indonesia merupakan negara favorit bagi ekspatriat untuk mencari kerja. Indonesia masuk pada peringkat enam dunia setelah Swiss, Tiongkok, dan Qatar.

“Masalah kenegaraan Indonesia masih sangat kompleks, sehingga memang sulit untuk mengembangkan SDA dan SDM.”

Berdasarkan beberapa lembaga survei, tingkatan Indonesia berada di bawah negara anggota Asean terkait daya saing kerja dan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

 

“Kita masih membutuhkan sangat banyak profesor dan guru besar agar kualitas pendidikan bisa terus dikembangkan. Selain itu, masalah akreditasi perguruan tinggi juga belum merata di Indonesia. Jadi tidak salah jika Indonesia berada di bawah negara anggota Asean di bidang pendidikan,” tambahnya.

Hal lain yang dibahas dalam acara Program Pengenalan Kampus Susulan (P2K Susulan) adalah kemampuan berbahasa Inggris.

“Kemampuan olah bahasa Inggris orang Indonesia rata-ratanya memang meningkat, tetapi di tingkat Asean kita turun. Itu artinya bahwa perkembangan kita sangat lambat.”

Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menaikkan standar syarat tes bahasa Inggris untuk kelulusan menjadi 450 di setiap universitas.

“Indonesia hampir kalah pada semua bidang dengan negara-negara anggota Asean. Ini merupakan hal yang perlu dipikirkan oleh setiap individu, terlebih untuk menghadapi MEA pada 2016 nanti.”

Hal yang mesti diperhatikan untuk menjadi lebih maju adalah bekerja keras dan menghilangkan kemalasan.

“IPK tinggi memang penting, tetapi itu saja tidak cukup. Soft skills dan pengalaman organisasi juga perlu. Karena hal tersebut akan menjadi nilai lebih ketika terjun dalam dunia kerja,” ujarnya lagi.

Untuk bisa bersaing dalam MEA maka perguruan-perguruan tinggi di Indonesia perlu meluluskan lulusan yang berdaya saing tinggi dan memiliki keahlian profesional dalam bidangnya. Dari pihak kampus sendiri peningkatan sarana dan prasarana serta mutu kurikulum pendidikan harus terus dipompa.

 “Mahasiswa harus banyak belajar berorganisasi agar terbiasa dengan masalah dan pemecahannya. Selain itu belajar diskusi, menghargai pendapat orang, serta bekerja sama. Menteri pendidikan sekarang Anies Baswedan contohnya. Ia dahulu aktivis kampus saat masih menjadi mahasiswa saya,” jelas Lincolin.

Orang Indonesia memang pandai berbicara, tetapi kurang produktif dalam bekerja. Contohnya saja dalam penulisan. Ketika kita produktif sekalipun dalam menulis, setidaknya akan ada penghasilan yang masuk, saat itu kesejahteraan akan datang dan pertumbuhan ekonomi negara akan meningkat. (Ard)