TKA dan Bahasa Indonesia

Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD;

Dosen BIPA di Guangxi University for Nationalities, China, 2013-2015

 

Beberapa waktu lalu, terbetik kabar tenaga kerja asing (TKA) membanjiri Indonesia. Kabar ini menarik dari perspektif pemertahanan bahasa Indonesia bagi TKA di Indonesia. Diberitakan, TKA yang akan bekerja di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat, salah satunya ialah bisa berbahasa Indonesia. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah Indonesia telah konsisten melaksanakan syarat berbahasa Indonesia kepada TKA selama ini?

Sebetulnya, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam aturan tersebut, Pasal 33 ayat (1) menegaskan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Perusahaan asing termasuk ke dalam lembaga swasta sebagaimana dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Dengan begitu, perusahaan asing berikut para TKA-nya juga ikut berperan serta dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia. Para TKA akan berusaha belajar bahasa Indonesia dengan harapan mereka dapat berkomunikasi dengan orang Indonesia. Di samping itu, para TKA juga didorong untuk mempergunakan bahasa Indonesia yang menjadi ciri khas kebudayaan Indonesia, mengingat belajar bahasa Indonesia sekaligus belajar budaya Indonesia.

 

Pemertahanan Bahasa Indonesia

Pemertahanan bahasa Indonesia selain harus diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, juga harus didukung oleh perusahaan asing berikut para TKA-nya. Jika para TKA belum mampu berbahasa Indonesia, mereka wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. Singkat kata, para TKA tetap diupayakan untuk bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Alih-alih demikian, justru yang terjadi sebaliknya. Seperti disinyalir Kridalaksana (1980), sebagian masyarakat kita lebih memilih menggunakan bahasa Inggris untuk melayani orang asing dan perusahaan asing, ketimbang bahasa Indonesia. Contohnya, di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, terdapat papan bertuliskan “Sugeng Rawuh”, “Selamat Datang”, dan “Welcome”. Seolah-olah Provinsi DIY adalah provinsi yang multibahasa (multilingual).

Kasus serupa juga terjadi di Stasiun Tugu, Yogyakarta, yang menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa dalam setiap pengumuman keberangkatan kereta. Padahal, merujuk UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya Pasal 38 ayat (1), bahasa Indonesialah yang wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Intinya, bahasa Indonesia itu wajib dijunjung tinggi oleh kita.

Salah satu sarana agar para TKA dapat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia ialah dengan belajar di lembaga-lembaga kursus bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Di Yogyakarta, tak sedikit lembaga kursus BIPA yang memberikan pelayanan profesional berupa pembelajaran BIPA yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Ada Wisma Bahasa, Puri Bahasa, Alam Bahasa, Cilacs UII, Inculs UGM, dan lain-lain.

Melalui lembaga-lembaga kursus BIPA tadi, diharapkan para TKA dapat memperoleh kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Secara tak langsung, para TKA juga ikut mengupayakan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia. Jika para TKA sudah terlibat dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia, bagaimana dengan kita selaku pemilik bahasa Indonesia itu sendiri? Tentu saja, kita pun harus terpanggil untuk hal tersebut.

Sebagai catatan penutup, saya sampaikan dua hal. Pertama, bisa berbahasa Indonesia bagi para TKA di Indonesia merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Hal ini, hemat saya, bagian integral dari salah satu butir Trisakti Bung Karno yang diucapkan oleh Presiden Jokowi, yaitu berkepribadian dengan budaya Indonesia. Bahasa Indonesia bagian dari kebudayaan Indonesia yang khas sehingga perlu dijunjung tinggi oleh kita semua tanpa terkecuali.

Kedua, lembaga-lembaga kursus BIPA dapat memfasilitasi para TKA yang ingin memiliki kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Yang terpenting, para pengajar BIPA menanamkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia kepada para TKA. Hanya dengan sikap tersebutlah, saya yakin, bahasa Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan begitu, upaya pemertahanan bahasa Indonesia dapat terwujud nyata, bukan mimpi belaka.[]