warga_masih_trauma.jpeg

Warga Masih Trauma

 

Gempa yang melanda NTB tidak hanya menghilangkan rumah, tapi juga membuat warga kehilangan kepercayaan diri. Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bekerja sama dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) berusaha untuk memulihkan psikologi masyarakat akibat trauma gempa.

Agung Nugroho Pamungkas koordinator MDMC mengaku, yang perlu diperbaiki pada masyarakat terkena gempa adalah psikologinya. Jika psikologinya sudah pulih, mau membangun apa pun menjadi gampang.

“Bisa dibayangkan jika mereka belum pulih psikologinya dan disuruh membangun rumah yang roboh, atau menerima berita kehilangan orang yang meninggal karena gempa. Tentu itu sulit. Makanya, perlu pemulihan melalui pendekatan psikologi. Mereka kami berikan pemahaman tentang sisi lain dari bencana. Paling tidak, masyarakat sadar dan paham bahwa segalanya sudah diatur dan segalanya bisa dikembalikan seperti semula,” terangnya saat ditemui di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) NTB.

Agung mengaku, penerjunan mahasiswa Psikologi UAD sangat tepat. Mereka menerapkan ilmu psikologi teknik psikososial dan memberikan terapi agar tidak mengalami trauma. Psikologi yang digunakan adalah trauma healing untuk pemulihan dengan permainan, bentuk spiritual, serta bermacam lomba. Setelah adanya trauma healing, kini masyarakat, khususnya anak-anak, berangsur membaik psikologinya.

Hartini, warga Pohgading mengaku, adanya mahasiswa UAD yang ada di lokasi sangat membantu untuk memulihkan anak yang murung. Mereka mengajak anak-anak bermain, mengajari mengaji, mengajar di sekolah, serta mengadakan lomba-lomba sehingga anak-anak jadi ceria.

“Mereka juga mengadakan lomba masak dan beberapa lomba lainnya untuk orang tua. Kami jadi banyak tahu cara mengolah hasil bumi yang ada di tempat kami,” terang Hartini.

Sementara itu, Rahma, salah satu mahasiswa yang diterjunkan oleh UAD mengaku, ada beberapa tempat yang membutuhkan pendidikan. Misalnya masyarakat Sembalun, Lombok Timur. Sekolah di sana baru ada enam tahun belakangan. Di kampung itu, hanya pelajaran agama yang mereka pelajari. Orang tua pun buta huruf. Kebanyakan mereka menjadi petani.

“Kami berencana akan menyentuh ke ranah orang tua. Paling tidak, masyarakat mempunyai kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi anak,” kata Rahma.