Industri Tak Sentuh Riset Akademisi
Kesenjangan dunia akademisi dengan dunia industri masih sangat lebar. Termasuk di bidang hasil-hasil riset. Hanya sedikit hasil penelitian perguruan tinggi yang kemudian dimanfaatkan industri. Besar kemungkinan, ada spesifikasi dunia industri yang berbeda dengan riset-riset yang dilakukan universitas.
“Pemanfaatan hasil riset selama ini jauh di bawah tiga puluh persen. Ini harus segera dicari jalan keluarnya,” ungkap Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Dr. Kasiyarno, M.Hum., di sela Confast (Conference on Fundamental and Applied Science Advanced Technology) 2016, yang digelar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Senin (25/1/2016).
“Sekarang ini”, lanjut Kasiyarno, “program yang akan dijalankan adalah menghubungkan akademisi dan industri. Perkembangan industri sangat cepat dan harus diakui akademisi sangat sulit mengejarnya. Dana menjadi salah satu kendala,” tandasnya.
Dunia industri, menurut Kasiyarno, pun selalu ingin menerima segala sesuatu yang siap pakai. Sayangnya, tidak semua perguruan tinggi mengarah ke situ. “Jika memang menginginkan yang siap pakai, mestinya bisa dipenuhi oleh sekolah-sekolah vokasi maupun politeknik.”
Akhirnya, perguruan tinggi hanya bisa mengarahkan agar hasil-hasil riset para dosen bisa lebih banyak diterapkan. Itu pun sering susah masuk ke dunia industri karena biasanya dunia industri memiliki spesifikasi tertentu. Karena itulah, industri memiliki program penelitian dan pengembangan sendiri. “Karenanya, paling banter yang bisa dilakukan para akademisi adalah melakukan kolaborasi dengan unit penelitian dan pengembangan yang dimiliki industri,” tutur Kasiyarno.
Confast 2016 yang dirintis sejak 2012, menurut ketua panitia Dr. Damar Yoga Kusuma, memang dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan riset di dunia akademisi dengan pemanfaatannya di dunia nyata, di masyarakat maupun dunia industri.
“Dengan demikian, penelitian di universitas tak berakhir hanya pada lorong-lorong gelap perpustakaan. Di sisi lain, industri dalam negeri kita dapat memanfaatkan inovasi-inovasi penelitian terbaru untuk meningkatkan kapasitasnya sehingga mampu bersaing dengan industri serupa di negara tetangga dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun ini,” jelasnya.
Seminar internasional itu menampilkan pembicara utama Prof. Lee Pooi See dari Nanyang Technological University, Singapura, dan Prof. Hariyadi dari UAD. Dua ahli di bidang Fisika dan Ilmu Material itu berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana membawa penelitian di universitas ke taraf industri.
Forum ilmiah yang berlangsung hingga Selasa (26/1/2016) ini juga mengundang Prof. Jason J Jung dari Chung-An University, Korea Selatan, yang merupakan ahli di bidang big data, terutama menyangkut data dari media sosial.
Prof. John A Carver dari the Australian National University juga turut hadir untuk berbagi pengetahuan tentang protein struktur dan korelasinya di bidang biomedis dan pangan.
“Acara ini ditutup oleh Direktur Dana Penelitian LPDP, Kemenkeu RI, Dr. M. Sofwan Effendi, yang menyampaikan tentang tantangan dan peluang dunia riset di Indonesia,” ujar Damar.
Dengan para peserta dari berbagai daerah di Indonesia serta luar negeri, antara lain Rusia, Estonia, Arab Saudi, Polandia, Singapura, dan Malaysia, Confast 2016 menerima lebih dari 200 abstrak dari pendaftar. Dari jumlah itu, sebanyak 166 abstrak lolos seleksi dan dipresentasikan dalam seminar tersebut.