Lidya Tarmizani Putri: Di Manapun Harus Tetap Belajar
Berikanlah sebanyak mungkin, maka kamu akan mendapat balasan sebanyak apa yang sudah kamu berikan, bahkan lebih.
Bagi Lidya Tarmizani Putri, mengikuti ajang Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) di tingkat Kopertis V dan Nasional merupakan kesempatan langka yang luar biasa untuk unjuk kemampuan diri dan mengharumkan nama Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Perempuan yang aktif berkegiatan di Debating Competition (DECO) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UAD ini merupakan juara 2 Mawapres Kopertis V Yogyakarta. Ia menjadi salah satu perwakilan Mawapres dari Yogyakarta di tingkat nasional.
Saya sangat berterima kasih kepada UAD, khususnya teman-teman DECO. Di DECO, ada tradisi untuk mengirim Mawapres sehingga saya sangat termotivasi untuk terus mengembangkan diri di bidang akademik maupun non akademik. Secara pribadi keinginan mengikuti Mawapres adalah untuk membanggakan orang tua dan memiliki banyak prestasi, ungkap Lidya ketika diwawancarai di kampus 2 UAD, Jl. Pramuka 42.
Dari penuturan Lidya, orang tuanya tidak memiliki tuntutan lebih di bidang akademik. Keduanya hanya menginginkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Alasannya memilih bergabung dengan DECO karena sejak SMA ia suka debat.
“Dari SD tidak begitu suka pelajaran bahasa Inggris. Pekerjaan Ibu sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) membuat keluarga sering berpindah-pindah tempat tinggal, sehingga bahasa menjadi salah satu kendala. Tetapi waktu SMP saya mulai menyukainya karena ada ujian bahasa Inggris sehingga saya harus mempelajarinya. Singkatnya berawal dari tidak suka menjadi suka.”
Sejauh ini perempuan kelahiran Tarakan, Kalimantan Utara 21 tahun silam itu sangat bersyukur dapat kuliah di UAD. Di UAD ia dapat mengembangkan minat dan bakatnya, serta memiliki motivasi untuk terus berkarya dan berprestasi. Ia bahkan sampai beranggapan kalau tidak masuk UAD mungkin tidak bisa seperti dirinya yang sekarang ini.
Sebagai Mawapres UAD 2017, Lidya sangat peduli terhadap pendidikan. Ia bersama teman-temannya di Jogja English Network mengajar anak-anak inklusi di sekitar Yogyakarta sejak September 2016. Selain itu, perempuan yang suka membaca artikel ini juga sering mengajar anak-anak di panti asuhan.
Saat mengajar anak-anak, saya teringat dengan pendidikan waktu kecil di Tarakan. Di sana secara keilmuan, pendidikannya tidak terlalu bagus. Proses pembelajaran masih menggunakan sarana dan prasarana seadanya. Tetapi yang benar-benar saya ingat, di Tarakan kami selalu diajarkan tentang nilai-nilai moral, terangnya.
Sewaktu di Tarakan, rumahnya dikelilingi hutan dan tebing. Kini bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakinya, Lidya menetap di Yogyakarta. Ia merasa nyaman tinggal di Yogyakarta. Namun, terkadang ia juga merindukan suasana di beberapa daerah yang pernah di singgahi beberapa pulau di Indonesia. Baginya, di manapun menetap bersama keluarganya, ia akan terus belajar dan mengembangkan diri. Terkadang, di waktu senggangnya mahasiswi semester 6 ini menjalankan bisnis katering dan travel.
Selain itu, Lidya mempelajari banyak hal terkait isu-isu nasional dan internasional, hukum, lingkungan, sosial, ekonomi, dan lainnya, termasuk apa yang terjadi saat ini. Penguasaan materi ini bertujuan untuk menambah wawasan ketika mengikuti lomba debat.
Terget selanjutnya setelah gagal di ajang Mawapres Nasional 2017, Lidya ingin melakukan penelitian dan publikasi jurnal ilmiah. Saat ini, ia mengikutkan jurnal ilmiahnya di Barcelona, Spanyol. Dari penjelasannya, kegagalan di tingkat nasional karena minimnya prestasi internasional yang ia raih.
Hal yang membutnya agak kecewa ketika mengikuti ajang Mawapres di Kopertis V adalah tidak adanya dosen maupun pimpinan yang mendampinginya.
Saya tidak mengharapkan untuk didampingi. Namun, ketika ada yang mendampingi maka akan menambah kepercayaan diri dan lebih termotivasi. Mungkin bapak ibu dosen lupa atau punya kesibukan lain, ungkapnya bergurau. (ard)