Melia Tri Pamungkas : Berlatih Untuk Bisa, Berdoa Agar Dimudahkan
“Sastra membantu saya mendapatkan gagasan, ide dan juga sebagai literasi. Karena bagi saya tidak cukup dengan perkara teknis, tanpa literasi yang cukup sebuah karya terkadang menjadi hambar,” jelas Melia Tri Pamungkas.
Melia Tri Pamungkas berhasil menyabet peringkat pertama dalam tangkai lomba kaligrafi pada Pekan Seni Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PSM PTM) 2017. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tersebut mengaku mendapatkan pengalaman berharga ketika berproses mengenal kaligrafi saat perlombaan. Sebelum dan selama perlombaan, ia mempersiapkan diri dan menjaga kesehatan serta konsep ide yang akan digunakan sebagai tampilan dasar karya lukisnya. Meli, begitu ia biasa disapa, menggunakan kanvas ukuran 100 cm x 100 cm sebagai medium lukis serta beberapa jenis cat dan kuas berbagai ukuran. Teknik lukis yang ia gunakan adalah teknik yang memanfaatkan tekstur kuas untuk membuat pola di atas kanvas. Lukisan kaligrafi tersebut ia buat dengan kombinasi warna gelap sebagai dasar dan warna-warna dasar yang lebih terang untuk memunculkan kaligrafi. Materi yang dilukis dalam lukisan tersebut ia kutip dari kata mutiara ثَمَر بِلاَ كَالشَّجَرِ عَمَلٍ بِلاَ العِلْمُ (al'ilmu bila 'amalin kassyajari bila tsamarin) dengan arti, Ilmu yang tidak diamalkan, bagaikan pohon tidak berbuah.
“Seorang manusia tentu berlomba-lomba mendapatkan ilmu yang baik dan bermanfaat. Tetapi, pertanyaannya akan bagaimana ketika ilmu tersebut apabila sudah didapatkan. Oleh karena itu, kata mutiara tersebut menjelaskan. Hendaklah, mengamalkan ilmu yang dimiliki. Karena, bukanlah menjadi sia-sia atau bahkan berkurang, justru akan berlipat pahala dan ilmunya akan terus terasah. Materi tersebut dipilih berdasarkan kecocokan tema dalam lomba yaitu Ilmu dan amal soleh, jalan dekat menuju Tuhan. Oleh sebab itu, lukis kaligrafi ini sesungguhnya dapat dijadikan sebagai salah satu media dakwah,” jelas gadis kelahiran Purbalingga 12 Mei 1994 tersebut.
Kendati berkuliah di bidang bahasadan sastra, Meli yang belajar menggambar dan melukis secara otodidak ini memandang melukis sebagai hobi. Ia mengaku lewat sastra ia mendapatkan banyak ide dan gagasan.
Talenta Meli sebagai pelukis tidak lagi meragukan. Ia pernah menjuarai berbagai lomba antara lain juara 2 lomba melukis tingkat SMP, juara 1 lomba karikatur dalam acara Rising Orange 2015, Participation of Internasional Semarang Sketchwalk 2016, juara 1 lomba lukis dalam acara Amazing Orange 2016, dan juara 1 tingkat nasional dalam acara PSM PTM III 2017. Selain itu ia juga aktif mengikuti berbagai pameran antara lain,“Drawing Nusantara” di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada tahun 2015, pameran “Nandur Srawung” di (TBY) tahun 2015, pameran “Lupa Rupa” di Jogja Nasional Museum (JNM) tahun 2016, pameran “Drawing Wayang” di TBY tahun 2016, pameran “Nationfest 2016 Visual Art Exhibition” di Kendal.
Meli tidak selalu berjuang sendiri. Ia mengaku selalu ditemani, didorong dan diberi semangat oleh banyak orang sekitar. Kemudian muncul nama-nama seperti Pak Mujo, Babe, Mbak Ido, Mbak Oci, Mas Ibenk, Mas Sule, Mas Iqbal, Redi, Barzen, Mas Totok, Pak Robert Nasrulloh, Mbak Widya dan Mas Wahyu. Nama-nama tersebut yang kemudian ia sebut sebagai “orang-orang yang akan terus diingat” karena memberikan banyak motivasi sekaligus sumber inspirasi baginya.
Daftar prestasi Meli ternyata tidak berhenti sampai di situ. Karya-karyanya banyak muncul menghiasi beberapa antologi baik sebagai ilustrasi maupun sampul depan, baik sebagai ilustrator tunggal maupun kolaborasi. Antologi-antologi tersebut antara lain Obituari Rindu dan Dendam (2013), Rumah Penyair 2 (2014), Bawa Laksana (2014), Rindu Maestro Sastra (2014), Rumah Penyair 3 (2015), Rampak (2015), Oranye (2015), Pilar Puisi 2 (2015), Rumah Penyair 4 (2016), dan Palka (2017).
Bagi Meli, melukis adalah proses menggauli medium menjadikannya satu dengan raga, rasa dan pikiran. (dev)