Menimbang Calon Presiden Indonesia Pemilu 2014
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Dosen Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD)
Seteleh pemilu legislatif kita laksanakan pada tanggal 9 April. Kini kita sudah mulai memiliki gambaran siapa gerangan yang akan berkuasa di negeri ini. Meskipun berpenduduk mayoritas muslim, namun dominasi kemenangan partai abangan atau nasionalis tetap terjadi. Masyarakat yang mayoritas muslim tidak serta merta memilih partai yang berbasis keislaman.
Sebaliknya partai yang menempati urutan tiga teratas adalah partai nasionalis; PDIP, Golkar dan Gerindra.
PDIP nampaknya memiliki kesempatan besar kali ini untuk mengusung Jokowi sebagai presiden. Setelah diumumkan beberapa hari menjelang pencoblosan, Partai berlambang banteng ini mulai bergerilya mencari pendukung untuk pemenangan pemilu. Hasilnya PDI menurut hasil survey menduduki urutan pertama dengan perolehan suara mendekati 20 persen. Meskipun demikian, perolehan suara ini masih mengecewakan PDIP, pasalnya target perolehan mereka minimal adalah 25 persen.
Sementara itu, Partai Golkar sepertinya masih memiliki kekuatan, meskipun sempat hampir pudar pasca kejatuhan Suharto, pada pecoblosan 9 April 2014 Partai ini masih memiliki posisi yang sangat setrategis. Dengan perolehan suara yang lebih dari 10 persen, partai ini masih memiliki kekuatan dibandingkan dengan partai-partai islam. Itulah sebabnya partai berlambang beringin ini dengan percaya diri sudah mengajukan Abu Rijal Bakri yang akrab dipanggil ARB sebagai calon presiden.
Partai pendatang baru yang melejit pada pencoblosan kali ini adalah Gerindra. Partai ini langsung melejit berkat karisma Prabowo. Sistem komunikasi effektif yang digunakan partai ini nampaknya mampu mendongkrak elektablilitas partai ini hingga menjadi 3 besar. Meningkatnya perolehan suara partai berlambang kepala garuda ini juga tidak lepas dari visi misi Prabowo yang dianggap lebih menjanjikan masyarakat Indonesia. Sebagai mantan Jendral, Prabowo mampu menggiring opini publik dengan pidato-pidatonya yang lantang dan tegas.
Melihat peta politik pasca pencoblosan 9 April, nampaknya hanya ada tiga kekuatan besar yang sudah nampak di depan mata. Hal ini terutama jika dilihat dari perolehan suara partai. Jokowi representasi dari PDIP, ARB Golkar, sedang Prabowo Gerindra. Namun demikian, dari tiga calon kuat ini nampaknya hanya Jokowi dan Prabowo yang akan mendominasi arus suara pada pemilihan presiden. Hal ini mengingat dua calon ini sampai saat ini belum ada celahnya. Berbeda halnya dengan ARB yang bakal mengalami beberapa keberatan di daerah, khususnya masalah Lapindo yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan.
Tiga arus besar yang sudah mendominasi percaturan bursa calon presiden itu nampaknya akan memudar jika partai-partai islam bersatu. Partai islam sebenarnya memiliki kekuatan strategis dalam bargaining politik untuk memperebutkan kursi kekuasaan di negeri ini. Sayangnya, dalam beberapa kesempatan beberapa partai islam sudah menentukan afiliasinya untuk berkoalisi dengan partai nasionalis. Hal ini tentu akan mempersulit kekuatan partai islam untuk merebut kekuasaan pada pemilu kali ini. Sehingga partai-partai islam yang seharusnya memiliki kekuatan sekitar 30an persen ini akan terbuang percuma.
Partai berbasis ke-islaman akan sangat berat untuk melakukan koalisi karena mereka tidak memiliki tokoh central yang bisa menyatukan mereka. Jika saja mereka mau, sebenarnya ada tokoh Jusuf Kala yang memiliki potensi sekaligus track record bersih. Tetapi karena Jusuf Kala tidak memiliki partai, dia tidak bisa mengajukan diri untuk menggalang kekuatan itu.
Isu yang berkembang Jusuf Kala akan disandingkan dengan Jokowi. Hal ini bisa jadi hanya isu untuk memecah agar partai-partai Islam tidak bisa bersatu.
Nampaknya kepemimpinan negeri ini tetap akan dikuasai dua kekuatan nasionalis abangan. Jokowi merupakan representasi kepemimpinan yang santun dan sederhana. Sedang Prabowo adalah representasi tokoh yang idealis, tegas dan visioner.
Budaya ketimuran masih sangat kuat bercokol di dalam masyarakat sehingga rakyat masih menggandrungi model kepemimpinan seperti Jokowi yang lebih santun dan sederhana. Model kepemimpinan Jokowi akan lebih berpeluang meskipun sampai saat ini kita belum mengetahui gagasan-gagasan visioner ala Jokowi untuk menyelesaikan masalah bangsa ini.
Sebenarnya, Prabowo memiliki potensi besar di dalam menyelesaikan persoalan di negeri ini. Ketegasan, visi dan misi yang jelas harusnya menjadi modal pemimpin Indonesia dalam kondisi seperti ini. Sayangnya, Prabowo akan menghadapi tantangan besar bukan hanya dari dalam tetapi juga dari luar. Negara-negara yang merasa terancam kepentingannya di negeri ini akan ikut berupaya menggembosi langkahnya mencapai kekuasaan. Hal ini pun sudah nampak dari beberapa negara asing yang sudah mendekat ke kubu Jokowi untuk melakukan bargaining politik. Wallahua’lam bishawab.