Menimbang Partisipasi Politik Perempuan
Dani Fsdillah
Proses pendaftaran Caleg telah diselesaikan oleh partai-partai yang berpartisipasi dalam pemilu pada KPU, dan sekali lagi satu isu sentral pencalegan adalah representasi perempuan dalam politik dalam kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Kalau kita berbicara tentang perempuan memang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Perempuan menempati peranan penting dalam dinamika kehidupan.
Meski belum maksimal dan masih jauh dari memuaskan, namun harus diakui bahwa saat ini nasib perempuan telah banyak mengalami kemajuan. Perempuan tak lagi hanya berperan dalam kegiatan domestik, tetapi mulai merambah dunia publik, saat ini perempuan telah mampu menjalankan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki
Di Indonesia, gerakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam politik sebenarnya sangat memungkinkan mengingat besarnya jumlah pemilih perempuan yang ada. Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah perempuan yang duduk di DPR secara signifikan. Meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009, angka ini masih jauh dari yang dicita-citakan, yakni 30 persen menurut Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPD.
Kenyataan ini menyebabkan parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya. Sebagaimana tampak dalam produk legislasi, materi-materi undang-undang yang dikeluarkan DPR lebih banyak berkaitan dengan dunia laki-laki seperti pertahanan, keamanan, kepolisian, korupsi, investasi, perdagangan. Sementara masalah kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, kesenian, lingkungan, atau perlindungan anak tidak banyak disentuh. Karena itu, peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga legislatif sangat diperlukan. Pentingnya perempuan dalam politik tidak berhenti di situ.
Berkaca pada kondisi di atas, sudah saatnya kita melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan demokrasi dengan formula yang baik. Untuk itu, ada beberapa agenda penting yang harus dilakukan guna memperkuat representasi dan penguatan perempuan dalam politik, khususnya dalam pilkada. Sejumlah agenda tersebut adalah, pertama, memperkuat aksesibilitas, partisipasi, dan respons perempuan dalam politik melalui pendidikan politik.
Kedua, meningkatkan kesadaran politik perempuan dan mendorong suara, akses, dan kontrol mereka terhadap penyelenggaraan pemilu. Ketiga, mendorong penguatan strategi dan model regulasi serta kebijakan dalam sistem pemilu dan rekrutmen partai politik yang memungkinkan terjadinya peningkatan representasi perempuan di panggung politik. Keempat, memperkuat keterampilan politik perempuan dengan cara melatih mereka supaya peka terhadap isu-isu pemilu seperti regulasi dan kebijakan yang berhubungan dengan penyelenggaraannya. Kelima, membangun kepekaan elektibilitas perempuan atas hak-hak politiknya dalam pemilu supaya mereka dapat merespons persoalan yang mendiskriminasi perempuan dengan cara melakukan pendidikan politik yang sistematis dan berkelanjutan. Keenam, mendukung dan memperkuat jaringan kerja yang memungkinkan terjadinya penguatan responsibilitas perempuan dalam pemilu.
Memang, di tengah struktur birokrasi dan institusi pembangunan di Indonesia yang masih dilekati ”watak patriarki”, meningkatkan kualitas gerakan politik perempuan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, perempuan harus mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk bisa menjadi komunitas yang solid. Dengan soliditas kuat, perempuan bisa menggalang kekuatan sesama politisi perempuan. Kekuatan itu secara bersama-sama kemudian digunakan untuk memengaruhi sistem dan perilaku politik.
Indonesia harus berani memulai dan menyuarakan terusmenerus pentingnya perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Karena, bukankah berani memulai dan konsisten adalah syarat untuk sebuah perubahan? Selamat berjuang kaum perempuan di gelanggang politik. Cukup menantang bukan?
*Dosen Ilmu Komunikasi Politik UAD