Pejuang Itu Makin Ideologis Diakhir Hayat
Oleh: Hendra Darmawan*)
Sebuah kalimah hikmah dalam bahasa arab menegaskan perumpamaan peran seseorang akan merepresentasikan peran seribu orang jika ia mampu mengurusi perkara umat seribu itu. ” wannas alfun minhum kawahid , wa wahidun kal alfi in ‘amrun ‘ana”. Eksistensi seseorang dinilai dari seberapa besar kontribusi seseorang pada selain dirinya. Nabi Muhammad S.AW juga menggaris bawahi pointer bahwasanya sebaik-baik manusia adalah ia yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dua hal diatas nampaknya melekat pada diri Almarhum Dr. H Abdul Fattah Wibisono, M.Ag salah seorang ketua pimpinan pusat muhammadiyah yang telah mendahului kita pergi keharibaan Alloh s.aw, rabbul jaliil. Beliau meninggal dunia di Rumah Sakit islam Jakarta (RSIJ), Cempaka Putih, Jakarta Timur pukul 04.30 Wib Ahad 13/01/2013.
Dilihat dari aktifitas kesehariannya sungguh beliau adalah seseorang yang elut, intelektual yang mumpuni, aktivis persyarikatan muhammadiyah dan beberapa organisasi yang lain. Setahun yang lalu Nampak beliau mengikuti sidang isbat penetapan awal syawwal di Departemen agama RI mewakili Muhammadiyah. Selain aktif di organisasi beliau juga seorang pendidik yang tekun dalam profesinya sebagai dosen di UIN syarif Hidayatullah dan di UHAMKA.
Dalam perkembangan psikologi, ada hirarki perkembangan manusia mulai dari berstatus sebagai makhluk dependant, lalu independen Mandiri) dan yang paling tinggi ada tahapan menjadi makhluk interdependent. Dalam tahapan puncak inilah ditandai dengan kemapuan sesorang bekerja sama dalam team, bergumul dalam organisasi dan dapat mengenali kelebihan dan kelemahannya. Didalam alquran disebutkan bahwasanya kita terlahir tanpa tahu sesuatu, tetapi kelak semua pendegaran, pendangan dan hati kita semua akan dimintai pertanggung jawaban.
Dalam sebuah hikmah disebutkan “engkau dilahirkan dalam keadaan menangis sedangkan orang disekelilingmu tertawa bahagia, kelak jika engkau meninggal dunai, orang disekelilingmu menangis dan engkau tersenyum menghadapnya. Itulah symbol khusnsul khotimah, yang menjadi dambaan setiap insan.
Pak fatah hampir dua bulan dirawat dirumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Penyakit tersebut tidak ia hiraukan jauh-jauh hari sehingga ia baru dikethaui oleh dokter dan keadaannya sudah parah, sehingga Rumah sakit Islam jakata langsung membuat tim untuk member penanganan khusus untuk pak fatah. Sempat ia pulang ke rumah untuk dua hari, karena dirasa sudah makin sehat, tetapi setelah dua hari itu iapun harus dirawat inap kembali.
Ada banyak kolega yang menjenguknya, mendoakannya dan memberi semangat untuk kesembuhan beliau. Menurut seorang kolega beliau, Prof Yunahar Ilyas saat menjenguknya, Kala itu Pak Fatah selalu menanyakan ” Ini milik kita kan? Ini milik kita kan? Diulangnya pertanyaan yang sama itu. Pertanyaan tersebut menunjukkan apakah rumah sakit tempat beliau dirawat itu milik muhammadiyah? Lalu Prof Yunahar menjawab, ia ini milik kita. Rumah sakit ini milik muhammadiyah. Barulah setelah mendapat jawaban tersebut ia menjadi makin tenang, dalam keadaan ingatannya kadang datang dan menghilang. Saat Prof. Yunahar mengkonfirmasi pertanyaan tersebut kepada istrinya, ia menerangkan bahwasanya pak fatah tidak ingin dirawat dirumah sakit selain rumah sakit muhammadiyah. Kalau rumah sakit ini bukan milik muhammadiyah, lebih baik saya pulang saja dan tidak usah dirawat.
Cerita diatas mensyiratkan bahwasanya beliau makin ideologis diakhir hayatnya. Menurut Kuntowijoyo (1990), Ideologi adalah bersatunya teori dan praksis. Pak fatah sudah menunjukkan kesatuan keduanya. Sungguh tauladan yang mulia bagi ummat, bagi kader muhammadiyah yang lain, agar sesalu memupuk komitmen bermuhammadiyah sampai ajal menjemput. Kita semua ingin kelak apa yang menjadi doa nabi syuaib, akar kelak kita setelah meninggal menjadi lisana sidqin fil akhirin, lisan kebenaran, buah bibir yang indah bagi mereka yang ditinggalkan.
*) Dosen PBI FKIP UAD dan Wakil Ketua MPK PWM DIY.
Oleh: Hendra Darmawan*)
Sebuah kalimah hikmah dalam bahasa arab menegaskan perumpamaan peran seseorang akan merepresentasikan peran seribu orang jika ia mampu mengurusi perkara umat seribu itu. ” wannas alfun minhum kawahid , wa wahidun kal alfi in ‘amrun ‘ana”. Eksistensi seseorang dinilai dari seberapa besar kontribusi seseorang pada selain dirinya. Nabi Muhammad S.AW juga menggaris bawahi pointer bahwasanya sebaik-baik manusia adalah ia yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dua hal diatas nampaknya melekat pada diri Almarhum Dr. H Abdul Fattah Wibisono, M.Ag salah seorang ketua pimpinan pusat muhammadiyah yang telah mendahului kita pergi keharibaan Alloh s.aw, rabbul jaliil. Beliau meninggal dunia di Rumah Sakit islam Jakarta (RSIJ), Cempaka Putih, Jakarta Timur pukul 04.30 Wib Ahad 13/01/2013.
Dilihat dari aktifitas kesehariannya sungguh beliau adalah seseorang yang elut, intelektual yang mumpuni, aktivis persyarikatan muhammadiyah dan beberapa organisasi yang lain. Setahun yang lalu Nampak beliau mengikuti sidang isbat penetapan awal syawwal di Departemen agama RI mewakili Muhammadiyah. Selain aktif di organisasi beliau juga seorang pendidik yang tekun dalam profesinya sebagai dosen di UIN syarif Hidayatullah dan di UHAMKA.
Dalam perkembangan psikologi, ada hirarki perkembangan manusia mulai dari berstatus sebagai makhluk dependant, lalu independen Mandiri) dan yang paling tinggi ada tahapan menjadi makhluk interdependent. Dalam tahapan puncak inilah ditandai dengan kemapuan sesorang bekerja sama dalam team, bergumul dalam organisasi dan dapat mengenali kelebihan dan kelemahannya. Didalam alquran disebutkan bahwasanya kita terlahir tanpa tahu sesuatu, tetapi kelak semua pendegaran, pendangan dan hati kita semua akan dimintai pertanggung jawaban.
Dalam sebuah hikmah disebutkan “engkau dilahirkan dalam keadaan menangis sedangkan orang disekelilingmu tertawa bahagia, kelak jika engkau meninggal dunai, orang disekelilingmu menangis dan engkau tersenyum menghadapnya. Itulah symbol khusnsul khotimah, yang menjadi dambaan setiap insan.
Pak fatah hampir dua bulan dirawat dirumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Penyakit tersebut tidak ia hiraukan jauh-jauh hari sehingga ia baru dikethaui oleh dokter dan keadaannya sudah parah, sehingga Rumah sakit Islam jakata langsung membuat tim untuk member penanganan khusus untuk pak fatah. Sempat ia pulang ke rumah untuk dua hari, karena dirasa sudah makin sehat, tetapi setelah dua hari itu iapun harus dirawat inap kembali.
Ada banyak kolega yang menjenguknya, mendoakannya dan memberi semangat untuk kesembuhan beliau. Menurut seorang kolega beliau, Prof Yunahar Ilyas saat menjenguknya, Kala itu Pak Fatah selalu menanyakan ” Ini milik kita kan? Ini milik kita kan? Diulangnya pertanyaan yang sama itu. Pertanyaan tersebut menunjukkan apakah rumah sakit tempat beliau dirawat itu milik muhammadiyah? Lalu Prof Yunahar menjawab, ia ini milik kita. Rumah sakit ini milik muhammadiyah. Barulah setelah mendapat jawaban tersebut ia menjadi makin tenang, dalam keadaan ingatannya kadang datang dan menghilang. Saat Prof. Yunahar mengkonfirmasi pertanyaan tersebut kepada istrinya, ia menerangkan bahwasanya pak fatah tidak ingin dirawat dirumah sakit selain rumah sakit muhammadiyah. Kalau rumah sakit ini bukan milik muhammadiyah, lebih baik saya pulang saja dan tidak usah dirawat.
Cerita diatas mensyiratkan bahwasanya beliau makin ideologis diakhir hayatnya. Menurut Kuntowijoyo (1990), Ideologi adalah bersatunya teori dan praksis. Pak fatah sudah menunjukkan kesatuan keduanya. Sungguh tauladan yang mulia bagi ummat, bagi kader muhammadiyah yang lain, agar sesalu memupuk komitmen bermuhammadiyah sampai ajal menjemput. Kita semua ingin kelak apa yang menjadi doa nabi syuaib, akar kelak kita setelah meninggal menjadi lisana sidqin fil akhirin, lisan kebenaran, buah bibir yang indah bagi mereka yang ditinggalkan.
*) Dosen PBI FKIP UAD dan Wakil Ketua MPK PWM DIY.