Pembatasan Waktu Kuliah, Solusi Bijak kah?
Dani Fadillah, M.A.
Ada sebuah wacana yang muncul terkait adanya pembatasan waktu kuliah bagi para mahasiswa. Dimana tadinya seperti ada ketidakjelasan berapa waktu yang harus dilalui oleh seorang mahasiswa untuk menempih program pendidikan strata satunya, menjadi hendak dibatasi cukup hanya lima tahun saja. Tentu saja hal ini menimbulkan pro kontra dikalangan civitas akademik perguruan tinggi dan para stoke holders nya.
Fenomena mahasiswa abadi memang bukan hal yang langka kita temui di berbagai perguruan tinggi tanah air. Entah itu kampus swasta mau pun negeri pasti ada tipe mahasiswa yang satu ini. Para mahasiswa yang tak kunjung lulus ini mau tidak mau harus diakui menimbulkan beberapa kekhawatiran hingga masalah yang menyusahkan pihak universitas, mulai dari hal-hal yang bersifat teknis seperti kesulitan mengatur jadwal kuliah karena meterbatasan ruang kuliah hingga urusan yang lebih serius seperti penilaian akreditasi.
Sebelum mengambil kesimpulan terhadapat wacana ini ada kalanya kita mempertimbangkan beberapa hal terlebih dahulu. Penyebab munculnya fenomena mahasiswa abadi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama dapat dikarenakan sang mahasiswa terlalu mencintai kehidupan pribadinya sebagai mahasiswa dimana dia menikmati aktifitas hariannya sebagai aktivis di organisasi mahasiswa mau pun hanya menikmati hidup hura-hura layaknya remaja yang masih belum menemukan tujuan hidup. Harus ada penelaahan lebih lanjut yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Jika yang menyebabkan sang mahasiswa tak kunjung lulus adalah alasan ini maka yang harus ditekankan dan ditingkatkan disini adalah fungsi dosen pembimbing akademik (PA) bagaimana seorang dosen PA mampu mempersuasif mahasiswa bimbingannya agar tetap ada di jalur yang benar dalam studi ditengah kesibukannya diluar dunia perkuliahan. Sebab tidak jarang dosen PA yang hanya tanda tangan kehadiran saja tanpa memberikan pengarahan maksimal pada mahasiswa yang menjadi tanggungjawabnya. Bahkan penulis belum pernah menemu ada pelatihan khusus bagi para dosen PA, padahal anggaran pendidikan dari APBN sangat besar.
Dan penyebab yang kedua sang mahasiswa sibuk untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah karena dia telah dituntut untuk dapat hidup mandiri. Dia sibuk bekerja untuk menghidupi dirinya (bahkan mungkin keluarganya) sehingga dangan amat terpaksa kuliahnya menjadi terbengkalai padahal sebenarnya dia mahasiswa dengan potensi yang besar. Kemudian jika penyebab sang mahasiswa tidak juga meraih gelar strata satu nya adalah alasan yang kedua, maka ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam memberikan bantuan dalam bentuk beasiswa hingga living cost yang layak bagi para mahasiswa supaya dunia perkuliahan akademik mereka tidak berantakan karena tanggungjawab kehidupan mereka. Pembatasan masa kuliah akan sangat membebani fisik bahkan psikis mereka, hanya akan menjadi masalah baru.
Namun ada pula tipe ketiga yang cukup sering yang penulis jumpai saat masih berstatus mahasiswa hingga kini menjadi dosen yaitu mahasiswa yang bersangkutan kehilangan semangat kuliah ya karena sang dosen pembimbing tak kunjung menyetujui penelitian tugas akhirnya, bahkan ada yang judulnya disetujui saja tidak. Lebih parahnya lagi ada pula dosen pembimbing yang terlalu sibuk mengejar proyek diluar hingga tidak pernah ditemui oleh mahasiswanya. Jika hal ini yang terjadi maka jelas lah masalah sebenarnya bukan ada pada mahasiswa. Jangan sampai jika kebijakan pembatasan masa kuliah diberlakukan sang dosen baru muncul ketika sang mahasiswa sudah terancam DO kalau sudah begini mahasiswa yang dirugikan sedangkan sang dosen pembimbing yang tak bertanggungjawab itu aman-aman saja.
Sebenarnya masih banyak hal lagi yang menyebabkan sang mahasiswa tak kunjung lulus, namun dalam kesempatan ini penulis hanya mencoba untik menyampaikan tiga hal saja dulu. Nah minimal dengan melihat tiga fenomena ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil sebuah kebijakan tentang pembatasan masa kuliah bagi mahasiswa. Jangan sampai kebijakan ini justru malah akan menghasilkan sebuah masalah baru, bahkan merusak masa depan mahasiswa yang bersangkutan.
*Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta