PERUBAHAN KURIKULUM JANGAN MELENAKAN TUGAS UTAMA GURU
Oleh : Muhammad Joko Susilo
(Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
email: jokoms_uad@yahoo.com / Hp: 08122586080)
Sejarah perubahan kurikulum pendidikan bangsa Indonesia sejak mulai merdeka tahun 1945 sudah mengalami perubahan selama 10 (sepuluh) dekade, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan akhir-akhir ini ditahun 2013. Jika ditelaah dari perjalanan perubahan kurikulum tersebut, memang ada hal-hal yang mendasari perlunya ada kebijakan perubahan yang harus dilakukan oleh pelaku-pelaku bangsa ini. Namun demikian, setidaknya perubahan perlu diminimalkan dari kepentingan-kepentingan politik perseorangan/kelompok tertentu. Hal ini, bukan berarti tidak boleh ada muatan politis dalam perubahan, namun secara tinjauan sistem maka, muatan politis itu harus membawa pada kepentingan umat (baca: bangsa Indonesia) sebagaimana yang terjadi pada perubahan kurikulum tahun 1968 pasca meletusnya pemberontakan G 30 S PKI, saat itu pemerintah menitipkan untuk dimasukan dalam kurikulum tentang kecintaan kepada negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 agar kasus pemberontakan G 30 S PKI tidak terulang lagi.
Sebenarnya secara teoritis, terdapat beberapa azas yang dijadikan pertimbangan dan perhitungan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum bangsa ini, yakni: azas filosofis, azas psikologis, azas sosiologis, azas organisatoris, dan azas kemajuan teknologi. Azas filosofis harus didasarkan pada filsafat bangsa Indonesia, yang secara estimologis mengandung makna kecintaan akan kedamaian abadi dan kesejahteraan sosial. Azas psikologis lebih ditekankan pada aspek-aspek kejiwaan belajar dari peserta didik yang diistilahkan dengan psikologi perkembangan siswa, dan ditekankan pada psikologi belajar yang akan menentukan metode-metode dan/atau model-model belajar yang mengarah pada pemataan kejiwaan peserta didik. Azas sosiologis ditekankan pada aspek-aspek sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat tempat sekolah itu didirikan, sehingga dalam kurikulum perlu sekali mengangkat muatan-muatan lokal (mulok) untuk diajarkan kepada peserta didik.
Dalam sudut pandang manajemen sekolah dipandang sebagai sistem organisasi yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dengan tujuan yang sama, yaitu tujuan sekolah juga tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hal inilah yang menjadi dasar penekanan pada azas organisatoris. Jadi sekolah tidak layak jika ditunggangi kepentingan-kepentingan individu ataupun golongan untuk mencapai hajat individualnya / golongannya. Yang terakhir adalah azas kemajuan teknologi, artinya bahwa penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak menutup diri dengan perkembangan zaman, sehingga proses adaptasi dan adopsipun perlu dilakukan dalam kurikulum yang sesuai dengan arah perkembangan zaman, apalagi di era global yang semuanya berbasis pada teknologi canggih, azas terakhir sebenarnya mengisyaratkan bahwa para pelaku pendidikan dituntut untuk tidak gaptek (gagap teknologi), sehingga akan mampu mengaplikasikan dalam proses pembelajarannya dan semakin lebih mudah proses akses keilmuannya.
Jadi, sangat jelas bahwa sebenarnya perubahan kurikulum itu mutlak diperlukan, sehingga sebagai pelaku pendidikan (baca:guru) tidaklah gusar, sebenarnya istilah yang sudah berkembang dimasyarakat “Ganti Menteri Ganti Kurikulum”, “Ganti Pemimpin Ganti Kebijakan” tidaklah tepat 100%. Justru yang paling penting adalah dengan adanya perubahan kurikulum itu tidak menganggu aktivitas/tugas utama guru dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun, jika secara teknis pelaku pendidikan banyak yang menganggap bahwa perubahan kurikulum merupakan suatu proyek, maka akan terjadi perebutan anggaran proyek tersebut, sehingga banyak pelaku pendidikan yang tergiur dan melupakan tugas utamanya yang ada tujuh (7) M, sebagaimana yang ditercantum dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab 1 Pasal 1 Ketentuan Umum, disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Amanah Undang-Undang merupakan amanah Pancasila dan UUD 1945 yang artinya amanah para pendiri bangsa Indonesia, sehingga jika perubahan kurikulum dipolitisi sebagai proyek dan pelaku pendidikan banyak diarahkan untuk mengikutinya hingga melenakan tugas utamanya dalam mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran yang baik, maka sangat jelas potensi peserta didik tidak akan bisa berkembang karena bapak/ibu gurunya disibukkan oleh kebijakan-kebijakan atasannya. Dengan begitu, sebenarnya proses pendidikan tidak dilakukan secara sadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan karena dipaksakan untuk menjadikan peserta didik cerdas yang sebaliknya. Karena modusnya dipaksakan maka perjalanan prosesnya pun tidak akan baik, terbukti banyak hilangnya karakter peserta didik yang jauh di luar karakter sebagai bangsa yang berladaskan pancasila dan UUD 1945. Perilaku seperti itu sangat bertentangan dengan makna pendidikan yang sebenarnya, seperti yang sudah ditorehkan dalam peraturan yuridis bangsa ini yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dalam Bab 1 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Allohu’alam.
Oleh : Muhammad Joko Susilo
(Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
email: jokoms_uad@yahoo.com / Hp: 08122586080)
Sejarah perubahan kurikulum pendidikan bangsa Indonesia sejak mulai merdeka tahun 1945 sudah mengalami perubahan selama 10 (sepuluh) dekade, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan akhir-akhir ini ditahun 2013. Jika ditelaah dari perjalanan perubahan kurikulum tersebut, memang ada hal-hal yang mendasari perlunya ada kebijakan perubahan yang harus dilakukan oleh pelaku-pelaku bangsa ini. Namun demikian, setidaknya perubahan perlu diminimalkan dari kepentingan-kepentingan politik perseorangan/kelompok tertentu. Hal ini, bukan berarti tidak boleh ada muatan politis dalam perubahan, namun secara tinjauan sistem maka, muatan politis itu harus membawa pada kepentingan umat (baca: bangsa Indonesia) sebagaimana yang terjadi pada perubahan kurikulum tahun 1968 pasca meletusnya pemberontakan G 30 S PKI, saat itu pemerintah menitipkan untuk dimasukan dalam kurikulum tentang kecintaan kepada negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 agar kasus pemberontakan G 30 S PKI tidak terulang lagi.
Sebenarnya secara teoritis, terdapat beberapa azas yang dijadikan pertimbangan dan perhitungan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum bangsa ini, yakni: azas filosofis, azas psikologis, azas sosiologis, azas organisatoris, dan azas kemajuan teknologi. Azas filosofis harus didasarkan pada filsafat bangsa Indonesia, yang secara estimologis mengandung makna kecintaan akan kedamaian abadi dan kesejahteraan sosial. Azas psikologis lebih ditekankan pada aspek-aspek kejiwaan belajar dari peserta didik yang diistilahkan dengan psikologi perkembangan siswa, dan ditekankan pada psikologi belajar yang akan menentukan metode-metode dan/atau model-model belajar yang mengarah pada pemataan kejiwaan peserta didik. Azas sosiologis ditekankan pada aspek-aspek sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat tempat sekolah itu didirikan, sehingga dalam kurikulum perlu sekali mengangkat muatan-muatan lokal (mulok) untuk diajarkan kepada peserta didik.
Dalam sudut pandang manajemen sekolah dipandang sebagai sistem organisasi yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dengan tujuan yang sama, yaitu tujuan sekolah juga tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hal inilah yang menjadi dasar penekanan pada azas organisatoris. Jadi sekolah tidak layak jika ditunggangi kepentingan-kepentingan individu ataupun golongan untuk mencapai hajat individualnya / golongannya. Yang terakhir adalah azas kemajuan teknologi, artinya bahwa penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak menutup diri dengan perkembangan zaman, sehingga proses adaptasi dan adopsipun perlu dilakukan dalam kurikulum yang sesuai dengan arah perkembangan zaman, apalagi di era global yang semuanya berbasis pada teknologi canggih, azas terakhir sebenarnya mengisyaratkan bahwa para pelaku pendidikan dituntut untuk tidak gaptek (gagap teknologi), sehingga akan mampu mengaplikasikan dalam proses pembelajarannya dan semakin lebih mudah proses akses keilmuannya.
Jadi, sangat jelas bahwa sebenarnya perubahan kurikulum itu mutlak diperlukan, sehingga sebagai pelaku pendidikan (baca:guru) tidaklah gusar, sebenarnya istilah yang sudah berkembang dimasyarakat “Ganti Menteri Ganti Kurikulum”, “Ganti Pemimpin Ganti Kebijakan” tidaklah tepat 100%. Justru yang paling penting adalah dengan adanya perubahan kurikulum itu tidak menganggu aktivitas/tugas utama guru dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun, jika secara teknis pelaku pendidikan banyak yang menganggap bahwa perubahan kurikulum merupakan suatu proyek, maka akan terjadi perebutan anggaran proyek tersebut, sehingga banyak pelaku pendidikan yang tergiur dan melupakan tugas utamanya yang ada tujuh (7) M, sebagaimana yang ditercantum dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab 1 Pasal 1 Ketentuan Umum, disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Amanah Undang-Undang merupakan amanah Pancasila dan UUD 1945 yang artinya amanah para pendiri bangsa Indonesia, sehingga jika perubahan kurikulum dipolitisi sebagai proyek dan pelaku pendidikan banyak diarahkan untuk mengikutinya hingga melenakan tugas utamanya dalam mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran yang baik, maka sangat jelas potensi peserta didik tidak akan bisa berkembang karena bapak/ibu gurunya disibukkan oleh kebijakan-kebijakan atasannya. Dengan begitu, sebenarnya proses pendidikan tidak dilakukan secara sadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan karena dipaksakan untuk menjadikan peserta didik cerdas yang sebaliknya. Karena modusnya dipaksakan maka perjalanan prosesnya pun tidak akan baik, terbukti banyak hilangnya karakter peserta didik yang jauh di luar karakter sebagai bangsa yang berladaskan pancasila dan UUD 1945. Perilaku seperti itu sangat bertentangan dengan makna pendidikan yang sebenarnya, seperti yang sudah ditorehkan dalam peraturan yuridis bangsa ini yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dalam Bab 1 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Allohu’alam.