Puasa Mengembalikan Fitrah Manusia
Oleh : Dr. H. Abdul Fadlil, M.T. (Wakil Rektor III UAD)
Menurut pandangan Islam setiap manusia yang lahir di muka bumi ini dalam keadaan fitrah yakni asal kejadian yang suci dan murni. Manusia terlahir dalam keadaan bersih tanpa mempunyai dosa, walaupun orangtua yang melahirkannya mungkin telah berbuat dosa. Dalam Islam tidak dikenal adanya dosa warisan, sehingga orangtua yang telah berdosa kemudian membagikan dosanya kepada anak keturunannya sebagai ahli waris. Atau seseorang merasa telah mendapatkan warisan dosa yang banyak dari orangtuanya sehingga menjadikan dirinya berputus asa dari rahmat Allah.
Kata fitrah menurut bahasa berarti penciptaan atau kejadian, sehingga fitrah manusia adalah kejadian sejak awal atau bawaan sejak lahir. Kata fitrah ini terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 30: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Kata ‘fitrah Allah’ pada ayat ini maksudnya adalah ciptaan Allah. Melalui ayat ini dapat dipahami pula bahwa manusia dilahirkan dengan naluri keimanan kepada Allah dan siap menerima Islam dalam penciptaannya.
Manusia menurut fitrahnya telah beragama, mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya. Maka kalau ada orang yang tidak beragama tauhid, sesungguhnya itu tidak wajar. Biasanya hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Manusia dengan tabiat penciptaannya yang merupakan pencampuran antara tanah dari bumi dan peniupan ruh, maka manusia dibekali potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik dan buruk. Seseorang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini dalam Al Qur’an diungkapkan dengan kata ilham, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy-Syam: 7-8: “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilham kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”. Sedangkan pada Q.S. Al Balad: 10, kemampuan ini diungkapkan dengan petunjuk. Maka ilham atau petunjukkan itu sudah tersimpan di dalam diri manusia dalam bentuk potensi-potensi.
Manusia adalah makhluk yang istimewa dan unik karena memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk. Selain itu Allah swt juga telah memberi kemampuan akal yang berada dalam hati manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Oleh karenanya baik atau buruknya amal seseorang tergantung pada hatinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati ” (HR. Bukhori-Muslim).
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa akal atau kemampuan memahami bersumber pada hati bukan otak (kepala). Hal ini juga selaras dengan penjelasan dari Al Qur’an, bahwa Allah swt berfirman, “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Hati memegang peranan penting dalam menggerakkan seseorang untuk berbuat baik (amal sholeh), ataupun berbuat jelek/jahat (dosa). Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah hati manusia dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: hati yang sehat (qolbun salim), hati yang sakit (qolbun maridh) dan hati yang mati (qolbun mayyit). Bagi orang yang memiliki hati yang sehat sungguh sangat beruntung karena ia akan banyak melakukan amal kebaikan yang mendatangkan pahala. Sebaliknya sangat merugilah orang yang hatinya sakit atau hatinya mati karena ia akan terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan jelek dan tercela yang mendatangkan dosa.
Pepatah Arab mengatakan, manusia itu tempat lupa dan salah. Pepatah ini bukan berarti manusia dibiarkan untuk berbuat salah dan dosa. Allah swt sangat mencintai hambanya maka diutuslah para Nabi dan Rasul sebagai juru pengingat serta diturunkanlah kitab suci Al Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia. Oleh karenanya agar manusia terhindar dari berbuat salah dan dosa haruslah berpegang teguh kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul (Al Hadits).
Untuk menjaga fitrah manusia agar senantiasa terbebas dari dosa, Allah swt telah menjanjikan akan menghapus dosa yang telah dilakukan hambanya. Sebagaimana berita gembira yang disampaikan Rasulullah, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari). Mudah-mudahan ibadah puasa ramadhan yang kita lakukan ini diterima oleh Allah swt, sehingga menjadikan terhapusnya dosa-dosa yang pernah kita lakukan dan mengantarkan kita kembali kedalam fitrah kesucian, amien.