Rendra Widyatama: Dosen Harus Berjiwa Entertainer
Oleh : Rendra Widyatama, SIP., M.Si
Dosen Pada Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
Dewasa ini, proses pembelajaran aktif (active learning) diyakini sebagai metode paling baik dalam penyampaian materi pembelajaran. Melalui metode ini peserta didik didorong melakukan inquiri (pencarian) secara aktif atas materi yang sedang dipalajari. Proses pembelajaran aktif sejatinya merupakan pembelajaran berbasis siswa (student based learned) yang lebih optimal. Namun untuk menjalankan metode ini sebenarnya ada sesuatu yang perlu dilakukan guru/dosen. Apakah itu?
Dalam perspektif komunikasi, bangkitnya pembelajaran aktif tidak mungkin terjadi tanpa ada kesukarelaan peserta didik. Yaitu kerelaan mengikuti apa yang diminta oleh guru untuk melakukan inquiri. Untuk keperluan tersebut, guru/dosen mutlak harus bisa membujuk siswa, atau secara bahasa akademis disebut harus mampu melakukan komunikasi persuasive. Dalam bahasa Latin, persuasive disebut dengan persuasion yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Jadi, bila dosen gagal membujuk, maka partisipasi aktif siswa tidak akan tumbuh.
Ada kunci utama agar guru/dosen dapat menumbuhkan kerelaan siswa. Yaitu diperlukan adanya kemampuan menumbuhkan perasaan gembira pada siswa, atau dengan kata lain guru/dosen harus mampu menjadi seorang entertainer (penghibur) sebagaimana dalam dunia pertunjukan. Bila perasaan gembira berhasil dibangkitkan, maka siswa akan mengikuti instruksi guru dengan sukarela.
Bila guru/dosen tidak mampu membangkitkan kegembiraan, peserta didik akan bosan mengikuti pembelajaran. Instruksi guru/dosen mungkin tidak akan dikerjakan dengan sunguh-sungguh. Besar kemungkinan, murid melakukan tugas sebatas formalitas yang tidak mencerminkan keseriusan dan kedalaman. Bila ini terjadi, tujuan pembelajaran mungkin tidak akan tercapai dengan penuh dan berkualitas.
Kemampuan menghibur selaras dengan prinsip dalam active learning. Lihat saja prinsip yang sangat dikenal dengan akronim PAKEM dalam active learning dimana guru/dosen harus mampu melakukan pembelajaran secara menyenangkan selain aktif, kreatif, dan efektif (Usaid & DBE, 2010:2).
Beberapa bentuk upaya menumbuhkan rasa gembira dalam pembelajaran, misalnya dengan menyajikan ice breaking berupa permainan, menyanyikan lagu, menyampaikan ceritera lucu, bertingkah laku lucu, teatrikel, gerak pantomin, permainan sulap, dan sebagainya. Ada baiknya selain memperdalam kualitas materi pembelajaran, seorang guru/dosen juga mempelajari teknik-teknik sebagaimana terdapat dalam dunia hiburan. Minimal, guru/dosen harus mampu berkomunikasi dengan cara yang menarik, sehingga dapat membangkitkan rasa gembira di tengah peserta didik.
Namun sebagaimana dituliskan Johan Huizinga, manusia memiliki sifat homo luden (senang bermain). Oleh karena itu, ice breaking yang berlarut-larut dan tidak terkontrol akan kontraproduktif dengan tujuan pembelajaran itu sendiri. Sebab siswa sering lebih ingin meneruskan ice breaking dibanding mendalami materi pelajaran.
Suguhan hiburan yang berlebihan membuat peserta didik lebih memperhatikan aspek hiburan dibanding fokus pada pelajaran yang diberikan atau didiskusikan. Selain itu, humor berlebihan akan mengurangi waktu pembelajaran.
Oleh karena itu, meski kemampuan entertain penting, namun kuantitas dan kualitas entertain haruslah dilakukan dengan hati-hati. Entertain yang terlalu berlebihan, proses pembelajaran dapat berubah menjadi panggung hiburan. Peserta didik akan larut menikmati penampilan dosen dan menempatkan dosen sebagai entertainer sebagaimana dalam panggung hiburan ketimbang sebagai guru/dosen.
Oleh : Rendra Widyatama, SIP., M.Si
Dosen Pada Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
Dewasa ini, proses pembelajaran aktif (active learning) diyakini sebagai metode paling baik dalam penyampaian materi pembelajaran. Melalui metode ini peserta didik didorong melakukan inquiri (pencarian) secara aktif atas materi yang sedang dipalajari. Proses pembelajaran aktif sejatinya merupakan pembelajaran berbasis siswa (student based learned) yang lebih optimal. Namun untuk menjalankan metode ini sebenarnya ada sesuatu yang perlu dilakukan guru/dosen. Apakah itu?
Dalam perspektif komunikasi, bangkitnya pembelajaran aktif tidak mungkin terjadi tanpa ada kesukarelaan peserta didik. Yaitu kerelaan mengikuti apa yang diminta oleh guru untuk melakukan inquiri. Untuk keperluan tersebut, guru/dosen mutlak harus bisa membujuk siswa, atau secara bahasa akademis disebut harus mampu melakukan komunikasi persuasive. Dalam bahasa Latin, persuasive disebut dengan persuasion yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Jadi, bila dosen gagal membujuk, maka partisipasi aktif siswa tidak akan tumbuh.
Ada kunci utama agar guru/dosen dapat menumbuhkan kerelaan siswa. Yaitu diperlukan adanya kemampuan menumbuhkan perasaan gembira pada siswa, atau dengan kata lain guru/dosen harus mampu menjadi seorang entertainer (penghibur) sebagaimana dalam dunia pertunjukan. Bila perasaan gembira berhasil dibangkitkan, maka siswa akan mengikuti instruksi guru dengan sukarela.
Bila guru/dosen tidak mampu membangkitkan kegembiraan, peserta didik akan bosan mengikuti pembelajaran. Instruksi guru/dosen mungkin tidak akan dikerjakan dengan sunguh-sungguh. Besar kemungkinan, murid melakukan tugas sebatas formalitas yang tidak mencerminkan keseriusan dan kedalaman. Bila ini terjadi, tujuan pembelajaran mungkin tidak akan tercapai dengan penuh dan berkualitas.
Kemampuan menghibur selaras dengan prinsip dalam active learning. Lihat saja prinsip yang sangat dikenal dengan akronim PAKEM dalam active learning dimana guru/dosen harus mampu melakukan pembelajaran secara menyenangkan selain aktif, kreatif, dan efektif (Usaid & DBE, 2010:2).
Beberapa bentuk upaya menumbuhkan rasa gembira dalam pembelajaran, misalnya dengan menyajikan ice breaking berupa permainan, menyanyikan lagu, menyampaikan ceritera lucu, bertingkah laku lucu, teatrikel, gerak pantomin, permainan sulap, dan sebagainya. Ada baiknya selain memperdalam kualitas materi pembelajaran, seorang guru/dosen juga mempelajari teknik-teknik sebagaimana terdapat dalam dunia hiburan. Minimal, guru/dosen harus mampu berkomunikasi dengan cara yang menarik, sehingga dapat membangkitkan rasa gembira di tengah peserta didik.
Namun sebagaimana dituliskan Johan Huizinga, manusia memiliki sifat homo luden (senang bermain). Oleh karena itu, ice breaking yang berlarut-larut dan tidak terkontrol akan kontraproduktif dengan tujuan pembelajaran itu sendiri. Sebab siswa sering lebih ingin meneruskan ice breaking dibanding mendalami materi pelajaran.
Suguhan hiburan yang berlebihan membuat peserta didik lebih memperhatikan aspek hiburan dibanding fokus pada pelajaran yang diberikan atau didiskusikan. Selain itu, humor berlebihan akan mengurangi waktu pembelajaran.
Oleh karena itu, meski kemampuan entertain penting, namun kuantitas dan kualitas entertain haruslah dilakukan dengan hati-hati. Entertain yang terlalu berlebihan, proses pembelajaran dapat berubah menjadi panggung hiburan. Peserta didik akan larut menikmati penampilan dosen dan menempatkan dosen sebagai entertainer sebagaimana dalam panggung hiburan ketimbang sebagai guru/dosen.