Teduh: Sebuah Novel di Antara Tesis dan Pekerjaan
“Aku mulai menyumpah diri. Pantang berhenti sebelum keringat menetes, pantang pulang sebelum kebenaran hidup ada di genggaman.” (Teduh, hlm. 99)
Bagi Sigit Apriyanto, S. Pd., menulis karya fiksi merupakan suatu hal yang baru. Sebelumnya, mahasiswa Pascasarjana Pendidikian Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan (PBI-UAD) Yogyakarta ini lebih sering menulis karya-karya ilmiah seperti modul pembelajaran daripada karya sastra. Berkat kegigihan dan keinginan yang kuat, pada awal tahun 2017 novel pertamanya yang berjudul Teduh akhirnya dapat terbit.
“Dari novel ini, saya punya cerita yang ingin saya bagikan kepada orang lain. Karena saya bukan orang yang gampang percaya dengan orang lain, maka saya melampiaskan apa yang ada di pikiran dan perasaan saya dalam tulisan. Saya juga bukan ‘pelupa yang baik’ atas masa lalu saya, novel Teduh yang saya tulis merupakan masa lalu saya yang sulit untuk dilupakan,” terang Sigit ketika ditemui di sela-sela kesibukannya.
Menurut penuturannya, petama kali dia mecoba untuk menulis terinspirasi dari sebuah buku berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan beberapa film yang diangkat dari tulisan Buya Hamka. Lelaki kelahiran Cilacap 29 tahun yang lalu ini sempat galau menentukan tema yang akan diangkat menjadi sebuah tulisan, sampai akhirnya mendapat pencerahan dari sebuah film berjudul The Great Gatsby. Ada diaolog antartokoh yang membuat Sigit kemudian memutuskan untuk menulis masa lalunya. “Tulislah apa yang pertama Anda pikirkan, dan tuliskan apa yang paling dekat dengan Anda.” (The Great Gatsby).
“Pada tahun 2014 saya mulai menulis dalam rentang waktu 2 sampai 3 bulan tanpa mengetahui teknik-teknik menulis novel. Saat itu saya benar-benar belum paham mengenai sastra, yang terpenting saat itu saya ingin menuliskan apa yang ingin saya tuliskan.” Ungkap Sigit sambil berkelakar.
“Di suatu waktu setelah menyelesaikan draf, saya sempat bertemu dengan seorang kawan di suatu organisasi, namanya Iqbal Saputra. Waktu itu saya memberanikan diri untuk memberikan draf itu kepadanya karena saya pikir dia paham tentang karya sastra. Baru beberapa paragraf dibaca dia nyeletuk ‘karyamu jelek aja belum’. Bagi saya ini sangat menyakitkan, dan saya berpikir apa maksud dari perkataannya.” Lanjut Sigit.
Setelah beberapa kali berdiskusi dengan Iqbal dan bertemu beberapa rekan di Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji, Sigit memahami bahwa tulisannya perlu diperbaiki lagi.
Perbaiki Tulisan dan Bekerja
Tidak mudah bagi Sigit untuk memperbaiki tulisan yang sudah jadi. Ia harus membagi waktu sebagai pengajar di LPK (Lembaga Pendidikan Kursus) di Yogyakarta, menyelesaikan tesis, dan merampungkan novelnya. Bagi lelaki yang kini berdomisili di Yogyakarta ini membagi waktu adalah sesuatu yang sangat sulit, dibutuhkan konsistensi dan semangat untuk menyelesaikan setiap pekerjaan.
“Saya memutuskan untuk menyelesaikan novel waktu dini hari. Dini hari adalah saat mood saya sedang baik. Kata kawan saya yang bernama Sule, mood itu harus diciptakan, bukan ditunggu.” Ungkapnya.
Selama proses penulisan novel Teduh, banyak hal yang dialami dan tidak terduga bagi ayah Nayla ini. Dia dipertemukan dengan orang-orang baru dan yang sangat tidak diduga adalah Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum., mau memberikan kata pengantar bagi novelnya.
“Kebetulan Pak Kasiyarno adalah pembimbing tesis saya. Alhamdulillah juga beliau mau memberikan kata pengantar di dalam novel Teduh. Mungkin selanjutnya mau memberikan acc tesis saya,” kata Sigit diiringi tawa.
Bagi Sigit, novel yang ia tulis sebenarnya dipersembahkan pada putrinya yang bernama Nayla. Nayla selalu menjadi penyemangat ketika terpuruk. Lelaki berambut klimis ini memiliki keinginan agar kelak putrinya membaca Teduh ketika sudah tumbuh dewasa. Agar Nayla tahu bagaimana perjuangan hidup ayahnya.
“Plan ke depannya saya akan melanjutkan novel ini menjadi dwilogi atau trilogi, sebab beberapa pembaca menanyakan kelanjutan ceritanya ketika Januari kemarin Teduh di launching di salah satu SMK di Cilacap dan Februari di salah satu yayasan AIDS Indonesia di Yogyakarta.”
Rencananya, pada tanggal 8 Maret 2017 novel Teduh karya Sigit Apriyanto akan didiskudikan di Forum Apresiasi Sastra (FAS) yang diselenggarakan atas kerja sama Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah dengan Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD di Hall Kampus 2, Jalan Pramuka. (ard)