Alat Medis Belum Berstandar; 20 Triliun Rupiah Melayang
“Pabrik pembuat alat medis belum tentu baik atau standar. Karena itu, perlu dikalibrasi secara berkala agar tetap terjaga standarisasinya,” kata Apik Rusdiarna Indrapraja, S.Si. selaku Kepala Laboratorium Kalibrasi dan Uji Universitas Ahmad Dahlan (LKU–UAD) saat di temui di kantornya.
Sebagaimana disampaikan dalam UU Nomor: 44 Tahun 2009 Pasal 16 Ayat 2, peralatan medis seperti yang dimaksud pada ayat (1) harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
Saat ditanya alasan memperjuangkan standarisasi alat kesehatan tensimeter, Apik menjawab, “Kami membantu upaya pemerintah dalam merealisasikan UU Nomor: 44 Tahun 2009 Pasal 16 Ayat 2.”
Menurutnya, jika alat kesehatan, khususnya tensimeter tidak standar, akan berakibat fatal terhadap pasien. Mengukur tinggi rendahnya darah bisa salah atau tidak akurat. Jika itu terjadi, dampaknya tidak baik. Oleh karena itu, tensimeter perlu dikalibrasi secara berkala.
“Saya berharap ke depan semua alat kesehatan standar, agar pengguna nyaman dan terjamin keamanannya,” harap Apik.
Di tempat berpisah, Manager Mutu LKU UAD, Margi Sasono mengatakan, pelayanan mutu kesehatan di Indonesia masih kurang baik. Salah satu penyebabnya adalah alat yang digunakan belum banyak yang distandarisasi. Menurutnya, pelayanan kalibrasi di Indonesia masih belum memadai, tidak sebanding dengan banyaknya rumah sakit yang ada. Jika dibuat rasio, 1 laboratorium kalibrasi harus melayani 90 rumah sakit. Hal ini berdampak buruk pada mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.
Kata Margi, berdasarkan data dari mountelizabeth.com.sg, ada sekitar 30-40% pasien asing di Singapura pada waktu tertentu adalah orang Indonesia. Salah satu alasan mereka ke Singapura atau berobat di luar negeri karena mutu pelayanan dan kemajuan teknologi alat medisnya dirasa lebih lengkap dibandingkan di Indonesia.
Tahun 2012, Menteri Pariwisata RI, sebagaimana dikutip dari laporan International Medical Travel Journal mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri pada diperkirakan 600 ribu orang dan menghabiskan dana sekitar 20 triliun rupiah untuk memburu perawatan medis di luar negeri.
“Tentu saja hal tersebut merugikan bangsa kita karena boleh jadi setiap tahun, belasan bahkan puluhan triliun uang orang Indonesia lari ke luar negeri. Karena itu, alat medis sebagai penunjang harus sudah standar dan ada institusi yang melakukan standarisasi. Bagi kami, itu sangat penting,” tukas Margi.