To Be Successful: Do Charity, Be Creative and Their Maintain Brotherhood

‘Man should do charity, be creative, and maintain their brotherhood,’ said Prof. Imam Robandi at Dhuha Islamic Proselytizing last Wednesday (15/06/2016) at the mosque of Campus I University of Ahmad Dahlan (UAD).

According to him, creativity should be maintained so as a husband guards is wife, who likes spending rather than managing the money.

‘if not wise and keen, we will only witness others’ success.’ The lecturer at Institute of Technology of Surabaya (ITS), who obtained his doctoral degree at University of Tottori Japan, said that human brain must be balance. As one has bright and brilliant brain, he has to maintain his body so he has to exercise so that there will be no problem.

‘In indonesia, becoming successful is easy because here there is less competitors.’ He added.

The event is regularly held by the Board of Islamic Study Development (LPSI) and it was attended by lecturers and administrative staff of UAD. As he closed his presentation Imam Robandi hoped that UAD be a worm to be a butterfly.

‘Be a Unversity, which comprehends intellectuality.’

Agar Sukses: Beramal Shalih, Kreatif, dan Ukhuwah

“Orang harus beramal shalih, kreatif, dan ukhuwah,” ucap Prof. Imam Robandi di pengajian dhuha pada Rabu, (15/6/2016) di masjid kampus I Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Menurutnya, kreativitas perlu ditatap. Seperti rumah tangga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga harus mampu mengawal istrinya yang lebih suka membelanjakan uang dibanding mengolah uang.

“Kalau tidak pintar dan sregep (rajin), kita hanya bisa melihat kesuksesan orang lain.”

Dosen ITS yang melanjutkan pendidikan doktornya di Universitas Tottori, Jepang, tersebut juga mengungkapkan bahwa otak manusia harus seimbang. Seperti halnya otaknya pintar dan cemerlang, raganya juga harus benar. Untuk itu, kita perlu berolahraga agar tidak bermasalah pada hal yang lainnya.

“Di Indonesia itu gampang sukses, karena di sini tidak banyak yang ingin bekerja keras,” lanjutnya.

Acara yang rutin dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) tersebut dihadiri oleh karyawan dan dosen UAD. Di akhir acara, Imam Robandi berharap agar UAD harus seperti ulat hingga menjadi kupu-kupu.

“Jadilah UAD yang menguasai intelektual.”

 

Two UAD Musical Poems Were Much Appreciated at UGM

Two University of Ahmad Dahlan (UAD) musical poems got awards an event in Gadjah Mada Uiversity (UGM). Those poems, getting the awards were Jejak Imaji and Al-Fine, which became first and third champions respectively.

‘This surely is a good news for Al-Fine, for this is the first appearance, and astonishingly, we get good luck in the 2016 UGM musical literary festival,’ said Mirza one of the vocalist his her Facebook.

‘Al-Fine’ is the name of the group founded on May 10th 2016. The members are Fahmi Hidayat, Christa Bella, Ayub Maulana, and Mirza.

Being different from Jejak Imaji, the group, which concerns on writing matters (especially poems, short story, and cultural essay) actually wants to establish itself in understanding poems through participating in the contest considering the group has gained two champions at UGM literature festival 2015.

According to Srdi Suryantoko as the manager of Jejak Imaji a musical poem is a form of learning and understanding poem presented on stage.

Being different from the previous appearance, Jejak Imaji did not involve its seniors. The members taking part in the event were new comers. They were Bangun Pratomo, Aditya Dwi Yoga, Ardi Priyantoko, Pandu, and Adeng and the arranger was Sule Subaweh.

Dua Musikalisasi Puisi dari UAD Berjaya di UGM

Dua musikalisasi puisi dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) berjaya di UGM. Adalah musikalisasi puisi Jejak Imaji dan Al-Fine. Al-Fine sendiri meraih juara 1 dan Jejak Imaji juara 3.

“Tentunya menjadi hal yang menggembirakan bagi Al-Fine, mengingat hal tersebut adalah penampilan pertama kami. Dan di luar dugaan, kami mendapat anugerah dalam musikalisasi festival sastra UGM 2016,” kata Mirza, salah satu vokalis di laman Facebook-nya.

“Al-Fine” begitulah nama grup sederhana yang mereka bentuk pada tanggal 10 Mei 2016 lalu. Mereka terdiri atas Fahmi Hidayat, Christa Bella, Ayub Maulana, dan Mirza.

Berbeda dengan Jejak Imaji. Komunitas yang bergerak di bidang penulisan (khususnya puisi, cerpen, dan esai budaya) ini sebenarnya hanya ingin memantapkan diri dalam memahami puisi dengan ikut lomba tersebut. Mengingat, mereka juga sudah pernah meraih juara 2 pada festival sastra UGM 2015.

Menurut Ardi Suryantoko selaku manager Jejak Imaji, musikalisasi puisi adalah salah satu bentuk pembelajaran dan memahami puisi jika dipanggunggkan.

Berbeda dari sebelumnya, personel Jejak Imaji sendiri tidak menentu. Jika tahun lalu ada senior yang ikut, tahun ini yang ikut digabung dengan anak-anak baru. Mereka adalah Bagun Protomo, Aditya Dwi Yoga, Ardi Priyantoko, Pandu, dan Adeng Raka dengan aranger Sule Subaweh.

 

Deteksi Produk Non-Halal

Makanan halal merupakan salah satu topik yang menarik untuk selalu dibahas. Hal ini karena makanan adalah kebutuhan dasar untuk kesejahteraan manusia. Terlebih ketika isu keaslian makanan halal telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan konsumen muslim di seluruh dunia. Hal ini karena pemalsuan komponen yang halal dengan komponen haram atau shubhah dalam produk makanan telah meluas dan sulit untuk diidentifikasi dengan mata telanjang.

“Untuk mengetahui produk olahan itu mengandung bahan non-halal, perlu adanya suatu metode yang mendukung. Banyak metode yang sudah digunakan untuk mengetahui adanya produk olahan non-halal. Misalnya metode spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR) dengan kombinasi kemometrika. Metode ini dapat membantu dengan melihat gugus fungsi senyawa non-halal atau derivatnya dan pengelompokan senyawa tersebut dengan kedekatannya senyawa target non-halal,” kata Dra. Any Guntari, M.Si., Apt. selaku Dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) saat ditemui di ruangannya pada Selasa (7/6/2016).

Selain itu, katanya bisa juga dengan melihat karakteristik profil analisis termal lemak/minyak dengan parameter kristalisasi dan pelelehan dari senyawa non halal. Metode tersebut dinamakan metode Differensial Scanning Calorimetry (DSC). Setiap senyawa yang diamati dengan metode DSC akan mempunyai profil termal yang berbeda. Metode yang lebih baik, karena kepekaan tinggi dan juga specifik untuk senyawa non halal. Yaitu metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Metode ini yang digunakan oleh dinas pemerintah untuk mendeteksi adanya produk mentah atau olahan non halal. Metode ini berbasis pada ilmu biologi molekuler. Dalam metode ini yang dianalisis adalah DNA yang diisolasi dari senyawa non halal. Tingkat keberhasilannya dengan metode PCR cukup tinggi. Sampel dengan skala pikogram (pg) sudah bisa terdeteksi dengan metode PCR.

Kelemahannya, metode ini cukup mahal untuk dilakukan. Sehingga perlu adanya pengembangan metode yang lebih murah, praktis, efisien, juga universal. Misalnya dengan menggunakan Kit yang peka dengan makanan yang mengandung bahan non-halal. Selama ini, sebagian besar bahan non-halal yang dikonsumsi oleh masyarakat sudah dalam bentuk derivat-derivatnya, tidak dalam keadaan asli. Misalnya produk derivat minyak, sehingga lebih sulit untuk dikenali.

Any mengatakan, sekarang mulai dikembangkan sistem pembau elektronik (electronic nose) melibatkan berbagai jenis sensor gas kimiawi elektronik dengan spesifisitas tertentu. Dengan metode statistika yang sesuai, teknik ini dapat mengenali bau yang kompleks. Penggunaan teknik ini untuk evaluasi senyawa yang mudah menguap dalam bahan atau produk makanan cukup menarik bagi para peneliti.

Teknik ini diklaim menyerupai pembau hidung manusia. Dengan menggunakan aroma sidik jari yang bersifat karakteristik, dimungkinkan untuk mendeteksi adanya komponen non-halal dalam produk makanan, farmasi, atau produk kosmetik.

Detecting Non-Halal Products

Halal food is an interesting topic to discuss. It is because food is a basic need for human welfare. Moreover the issue of halal food guarantee has worried Muslim consumers worldwide. It is because the counterfeiting halal components with haram or shubhah components in food products has been extensive and difficult to notice physically.

“To identify product containing non-halal components, it requires supporting methods. There are many methods used to identify non-halal containing-element food, for example spectroscopic method of Fourier Transform Infra-Red (FTIR) with chemometric combination. This method is used to identify non-halal compound functional groups or its derivative and compound group with the proximity to non-halal target compound,” said Dra. Any Guntari, M.Si., Apt., a lecturer of Pharmacy Faculty at Uiversity of Ahmad Dahlan (UAD) in her office on Tuesday (7/6/2016).

Moreover, she said that non-halal product could be identified by analyzing the characteristics of fat/oil through thermal analysis profiles with crystallization parameters and the melting point of non-halal compound. This method was known as Differensial Scanning Calorimetry (DSC). Each compound, which is observed with DSC method will result in different thermal profiles. Another method is Polymerase Chain Reaction (PCR). This method is used by the government to detect either row or processed food containing non-halal elements. The method is molecular biology based. This method analyses the isolated DNA of non-halal compound. The degree of sensitivity of this method is relatively high. With the scale of pictogram (pg) sample is enough to detect the non-halal element.  

The weakness of this method is that it requires high financial cost. So, it needs further development to find cheaper, more practical, more efficient, and more universal method. The example of the development is by using Kit sensitive to foods containing non-halal elements. So far, most of the non-halal material consumed by people has already been in the form of its derivative, not in its original form, for example oil derivation product. So, it is difficult to identify.

Any said, now, researchers begin to develop electronic smell systems (electronic nose) involving various types of electronics chemical gas sensor with particular specificity. With appropriate statistical methods, this technique can identify complex odors. This technique is used for evaluating volatile compounds in material or food products. It is quite interesting for researchers.

This technique is claimed resembling the smell of human nose. By using typical fingerprint aroma, it is possible to detect the existence of non-halal component in food, pharmacy, and cosmetic products.

Marak Daging Oplosan Menjelang Lebaran, Daging Perlu di Seleksi

Menjelang lebaran, biasanya pembelian daging meningkat, baik daging ayam maupun daging sapi. Maraknya oplosan daging sapi dengan daging celeng/babi, tentu membuat umat muslim resah.

Daging celeng yang dioplos dengan daging sapi jumlahnya sangat fantastis, yaitu per minggu bisa sampai 6 ton. Konsumen yang tidak bisa membedakan tekstur daging celeng dan sapi akan merasa dirugikan. Daging celeng harga per kg sekitar 30-35 ribu/kg, sedangkan daging sapi yang kualitas pertama bisa sampai 120 ribu/kg.

“Kita sebagai muslim sangat perlu menyelidiki melalui pengetahuan ilmiah. Tujuannya untuk melakukan identifikasi komponen non-halal dalam produk  makanan, khususnya pada daging,” kata Dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Dra. Any Guntari M.Si. Apt., di ruangannya pada Selasa (7/6/2016).

Makanan non-halal yang sering digunakan biasanya dalam bentuk lemak atau minyaknya. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang sediaan minyak nabati dicampurkan dengan minyak non-halal. Makanan seperti kue, es krim, cokelat biasanya menggunakan lemak/minyak dari non-halal. Makanan olahan bakso juga sering mencampurkan daging babi atau celeng dicampur dengan daging sapi. Tentu saja ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Susahnya mendeteksi mana yang oplosan dan mana yang bukan, membuat masyarakat muslim resah. Apalagi kalau sudah menjadi produk olahan, akan sangat sulit dikenali.

Sebenarnya, kata Any, di sini bukan masalah harga, tetapi masalah non-halal apabila yang mengonsumsi orang muslim. Selain itu, juga ada hubungannya dengan kualitas daging yang dijual, apakah sudah lolos dari pemeriksaan dinas yang berwenang.

“Masyarakat pengguna dan pedagang perlu diberi sosialisasi tentang perbedaan daging sapi dan daging celeng.”

Lebih lanjut, Any menjelaskan beberapa perbedaan antara daging sapi dan daging celeng, yaitu warna daging celeng lebih pucat; serat daging sapi tampak padat dan garis-garis seratnya terlihat jelas, serat daging celeng tidak sepadat serat daging sapi, lebih halus dan mudah dipisahkan antar serat; lemak daging celeng memiliki tekstur lemak yang lebih elastis sementara lemak sapi lebih kaku dan berbentuk; tekstur daging sapi memiliki tekstur yang lebih kaku dan padat dibanding dengan daging celeng yang lembek dan mudah diregangkan; serta aroma daging celeng anyir, daging sapi memiliki aroma yang khas.

 

Mixed Meat Is Prevalent Prior to Eid El Fitr, Control of Halal Meat Is Necessary

Prior to Eid El Fitr (Lebaran), the demand of either beef or poultry meat usually increases. The increasing cases of pork-mixed beef sale make muslims people worried.

The number of pork-mixed beef was very fantastic. It reached 6 tons per week. It was detrimental for people who were not able to differentiate between beef and pork. The prize of pork is between thirty thousand and thirty-five thousand rupiahs per kilogram (Rp 20.000 – 30.000/kg), while the first quality of beef can reach one hundred and twenty thousand per kilogram (Rp 120.000/kg)

“We, as Moslem need to investigate it scientifically. It is aimed to identify non-halal components of food product especially meat”, said Dra. Any Guntari, M.Si Apt, a lecturer of   Pharmacy Faculty at University of Ahmad Dahlan (UAD) in her office on Tuesday (7/6/2016).

Non-halal food usually comes from the fat or oil. Some researches were conducted to identify the vegetable oil containing non-halal oil. Food like cake, ice cream, and chocolate usually contain elements of non-halal fat or oil.  Processed food, meatball is usually made of mixture of pork and beef. It is usually done to get big profit.

The difficulty in identifying the non-halal elements in food makes muslim people worried especially about the already processed foods.

Any said that the problem was not about the prize. For Moslem, it was forbidden to consume non-halal food. Moreover, the problem is also about the quality of meat whether it had passed the examination of the authority or not.

“Both consumers and merchants need to be given the information about the differences between beef and wild boar meat or pork.” Any said.

Moreover, Any explained the differences between beef and pork were that pork had pale color. The beef texture looked solid and the texture stripes looked clear. While pork texture was not solid, subtler, and easily separated. Pork fat had elastic texture and easily stretched, while beef had rigid and shaped texture. The aroma of pork was rancid, while beef had a distinctive aroma. 

FAS and Literature in the Qur’an

Let docked, Comrades!
Wednesday, June 15, 2016 at 15:30 to 18:00 Literary Appreciation Forum (FAS) # 59 with the theme "Literature in the Qur'an." Bringing all the elements to come to attend as well go along. Present as speakers: Shohifur Ridho Divine | Moderator: Hairini Nur Hanifah.
The event, which regularly take place in the Hall Campus 2 in cooperation with the Indonesian Language and Literature Education (PBSI) Ahmad Dahlan University (UAD)

منتدى التقييم الأدبي والأدب في القرآن الكريم

تعالوا شاركوا معنا أيها الأصحاب!

تدعوكم منتدى التقييم الأدبي #59 لحضور حلقة نقاشية وحلف الإفطار الجماعي الذي يسعقد  يوم الأربعاء، 15 يونيو 2016 الساعة 15.30 حتى 18.00، بعنوان: الأدب في القرآن الكريم.  

المحاضر: صاحف الرضا إلهي

مدير الجلسة: حيريني نور حنيفة

هذا النشاط المنعقد دوريا بقاعة المؤتمرات الحرم الجامعي الثاني يتم عقده بالتعاون مع قسم تدريس اللغة والأدب الإندونيسي جامعة أحمد دحلان.