Isu Milieau Masih Jarang Diangkat

 

“Dunia perfilman dan sinetron masih sarat dengan tema-tema asmara, pergaulan bebas, perebutan harta, kekerasan, perselingkuhan, gaya hidup, mistikisme, dan latahisme,” kata Sujarwa saat talk show dalam acara “Langkah Pakar” di AdiTv, Sabtu (6/6/2015). 

Menurut dosen Sastra Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini, kasus-kasus nyata dan serius yang dapat dipakai sebagai media edukasi bagi publik untuk pendewasaan proses berpikir masyarakat masih jarang disentuh. Misalnya masalah politik, hukum, dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab, mengingat kondisi milieau yang ada masih sangat sensitif untuk menyikapinya, di samping faktor-faktor lain.

Milieau merupakan lingkungan atau setting yang langsung dipakai sebagai tempat terwujudnya karya sastra atau karya seni, yang dituntun oleh kebudayaan bangsa tersebut. Dalam peristiwa seni sastra, film, ataupun sinetron di Indonesia, terdapat tradisi yang menanggapi isu global sebagai semangat zaman sebatas pada gaya hidup.

Hal serupa juga terjadi dalam dunia sastra, meskipun tema-tema yang diusung selangkah lebih ke depan daripada dunia sinetron atau film. Ada indikasi terjadinya ge­sekan-gesekan budaya lokal, nasional, maupun internasional sebagai dam­pak globalisasi; ada euforia beragama yang mengedepan­kan pilihan-pilihan hidup pragmatis; ada bentuk-bentuk perilaku menyimpang dan kekerasan dalam rumah tangga maupun di masyarakat; ada kesadaran ber­keyaki­n­an bahwa hidup dan kehidupan jadi rahasia Tuhan; ada simbol budaya Indonesia mau­pun budaya asing dikolaborasikan; serta isu gender dan poligami masih jadi hal dominan dunia sastra dewasa ini.

“Meski demikian, ada hal yang menarik dari kedua hasil proses kreatif tersebut. Muncul­nya milieau dan semangat zaman yang mengedepankan profit menjadi kendala mereka dalam menuangkan kualitas ide kreatifnya. Itulah sebabnya segmen pasar yang masih terjebak pada gaya hidup jadi prioritas proses kreatif dalam berkarya,” tukasnya.