Menulis Sastra Anak, Menulis Masa Kecil
“Kehidupan masa kecil sangat memengaruhi karya dan hidup saya saat tumbuh dewasa, sampai masa tua nanti. Tentu saja juga memengaruhi karya-karya dalam menulis atau di atas panggung pertunjukan,” kata Andy Sri Wahyudi di acara Forum Apresiasi Sastra (FAS) #58 Rabu, (11/5/2016) di hall kampus II Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Di acara yang mengangkat tema “Sastra Anak” ini, Andy mengaku bahwa ia tumbuh dan berkembang dengan banyak imajinasi yang mengasyikkan, setidaknya untuk diri sendiri.
“Saat muncul, apa yang membedakan antara imajinasi dan lamunan? Bagi saya melamun hanya diam, pikiran ke mana-mana tak tentu arah, dan berpotensi kerasukan. Sedangkan imajinasi adalah sebuah aktivitas yang di dalamnya memuat cita-cita dan kreativitas. Orang yang diam sambil menerawang jauh lantaran stres dirundung susah, kecewa, tekanan batin, berbeda dengan orang yang berdiam merancang sesuatu atau hendak membuat karya, atau sekadar membayangkan yang lucu-lucu. Di situlah letak perbedaannya.”
“Saya merasakan lahirnya sebuah karya dari pergolakan antara ingatan, imajinasi, pikiran, dan hati. Kemudian mengerucut menjadi karya yang berisi nilai-nilai yang bisa berupa prinsip, ideologi, harapan, cinta, kejahatan, dan lain-lain. Semuanya itu terwujud dan hidup karena peran penting dari energi yang ada dalam diri. Itulah yang saya pahami dalam lingkup kecil diri saya sendiri. Meskipun dalam sebuah sistem yang kerja kreatif yang sama tetapi berbeda-beda cara melakoninya. Saya tumbuh berkembang bukan sebagai penulis profesional yang menekuni satu bentuk tulisan seperti spesialis novel atau puisi. Tulisan saya lahir karena sesuatu yang mengendap dan mengganggu dalam diri saya. Kadang karya hadir bersifat spontan, kadang membuat gelisah yang menahun,” lanjutnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan, setinggi tingginya imajinasi seseorang, basisnya tetap pada kenyataan. Maka dari itu, sejatinya karya saya selalu berbasis kenyataan.
“Saya menciptakan karya dengan membaca, berpikir dan merasakan kenyataan yang saya temui. Sebab begitulah hidup sebagai manusia, membuat karya itu adalah sebuah naluri. Lihatlah di Museum Sangiran, manusia prasejarah yang belum mengenal tulisan pun tetap membuat karya berupa kapak dari batu, gambar di gua, atau alat berburu dan meramu. Saya meyakini karya mereka lahir juga karena berhadapan dengan kenyataan apa yang dicerna dengan indranya.”