Prof. Dr. Suminto A. Sayuti: Semua Orang Boleh Menafsirkan Puisi
“Semua tafsir puisi itu boleh. Pembaca boleh membaca dari sudut pintu atau jendela mana pun,” kata Prof. Dr. Suminto A. Sayuti saat bedah buku kumpulan puisi Matapangara karya Raedu Basha, di hall kampus II Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Rabu (4/3/2015).
Menurut Suminto, puisi adalah rumah pengalaman penyair. Pergulatan penyair menjadi proses merumahkan puisi. Penyair tidak pernah mengenal kata pulang dalam arti imaji, dan tentunya selalu gelisah.
“Proses kreatif ada situasi mabuk, situasi tak sadar ketika kita sudah dekat dengan pengalaman. Karena itu, penyair atau penulis harus selalu mengakrabkan dengan keadaan termasuk kesakitan,” ujarnya.
“Silakan menulis puisi. Tapi, baik buruk puisi yang menentukan orang lain, kritikus, ataupun pengamat. Penyair tidak mempunyai hak menyelamatkan puisinya,” ucap Suminto menutup diskusi tersebut.
Seperti halnya penyair post-modern, Raedu sebagai penyair mencoba memaparkan kenangan masa lalu dalam puisinya. Ia ingin menjaga kegelisahannya demi masa lalu, budaya, dan tanah kelahirannya, Madura. Memang, sudah semestinya sastra Indonesia di tulis selokal-lokalnya untuk menduduki dunia sastra.